Advertisement
![]() |
Gambar ilustrasi |
Laporan : Farid
KLATEN |MATALENSANEWS.com – Kinerja salah satu Bank Perkreditan Rakyat (BPR) di Klaten berinisial RAA kini menjadi sorotan tajam. Lembaga ELBEHA Barometer menuding adanya praktik tak transparan yang berpotensi merugikan nasabah dan bahkan mengarah pada dugaan pelanggaran hukum.
“BPR tersebut diduga tidak transparan dan merugikan konsumen/nasabahnya,” tegas Sri Hartono, Ketua ELBEHA Barometer, saat ditemui wartawan, Minggu (14/9/2025).
Sri Hartono membeberkan aduan dari seorang nasabah berinisial WH. Menurut penuturan WH, persoalan bermula dari keterlambatan pembayaran cicilan. Saat sudah melunasi tunggakan, justru muncul tagihan baru disertai denda yang dinilai janggal.
“Harusnya ada pemberitahuan dan penjelasan terlebih dahulu. Lah ini seenaknya menentukan denda dan tagihan tanpa rincian mendasar,” jelas Sri Hartono.
Lebih lanjut, Sri Hartono menyebut adanya potongan awal sekitar Rp5 juta dari cicilan dengan alasan untuk pengendapan atau saldo. Namun anehnya, saldo itu tidak dipergunakan untuk mengurangi keterlambatan cicilan.
“Kan bahasanya ada saldo/tabungan yang ditahan di BPR RAA, kenapa itu tidak dipotong. Justru setelah nasabah membayar tunggakannya, muncul lagi tunggakan baru dengan denda tanpa rincian jelas,” paparnya.
ELBEHA Barometer menilai praktik tersebut sebagai modus yang merugikan konsumen. “Ini akal bulus untuk menekan hingga berujung memeras nasabah. Secepatnya akan kami gelar perkara. Saat ini kami tengah mendalami dan meminta keterangan nasabah lain yang diduga juga menjadi korban,” tegasnya.
Sri Hartono menambahkan, lembaganya akan melayangkan aduan resmi ke Otoritas Jasa Keuangan (OJK). “BPR seperti ini menjadi benalu dan merugikan. Harus ditindak tegas,” tandasnya.
Jika benar praktik tersebut terjadi, maka BPR RAA dapat terjerat Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan. Dalam Pasal 29 ayat (2) jelas disebutkan bahwa bank wajib menerapkan prinsip kehati-hatian dan melindungi kepentingan nasabah.
Selain itu, penetapan denda tanpa dasar jelas bisa dikategorikan melanggar prinsip transparansi sebagaimana diatur dalam Peraturan OJK No. 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan, yang mengharuskan setiap lembaga keuangan menyampaikan informasi biaya, bunga, maupun denda secara terbuka.
Bila terbukti ada unsur kesengajaan memeras atau menekan nasabah, kasus ini juga bisa masuk ranah pidana melalui Pasal 368 KUHP tentang pemerasan.
Sri Hartono juga mengutip catatan OJK bahwa dugaan tindak pidana perbankan paling banyak ditemukan pada BPR dibandingkan bank swasta maupun BPR Syariah. Karena itu, pihaknya mendesak audit menyeluruh terhadap BPR RAA agar tidak ada lagi korban berikutnya.
Hingga berita ini diterbitkan, manajemen BPR RAA belum memberikan klarifikasi.(*)