Deoxa Indonesian Channels

lisensi

Advertisement MGID

 


 





 


Jumat, 31 Januari 2020, 1:25:00 PM WIB
Last Updated 2020-01-31T10:14:36Z
Sejarah dan Budaya

Komplek Makam Gunung Pring, Magelang - Jawa Tengah

Advertisement
Komplek makam Gunung Pring (Foto : Sofian) 
SIRAH MAQOSIDANA
(Sambung Ruh Ulama Nusantara)

MATALENSANEWS.com-Bagi orang Jawa apalagi orang pedesaan tentu sangat familiar dengan kata "sanepo" yang berarti ungkapan atau kalimat dengan menunjuk suatu benda atau waktu yang mengandung maksud tertentu sehingga didalam kasusastran Jawa banyak ditemui kata sanepo atau dikenal sebagai tembung anduporo. Demikian pula dengan warga Nahdliyin atau santri maka juga sangat  familiar dengan istilah "Isim Isyarah' (اِسْم إِشَارَة) yang berarti kata petunjuk yang berfungsi untuk menunjuk sesuatu tentang maksud tertentu, karena biasanya para Kyai akan memberi wejangan dan pelajaran ilmu luhur pada para santri atau umat dengan menggunakan kalimat yang bernilai sanepo dan atau Isyarah, dengan demikian kata sanepo dan Isyarah' pada prinsipnya adalah sama yang keduanya dalam istilah bahasa Indonesia dapat disebandingkan dengan bentuk majas personifikasi.

Berziarah ke komplek makam ulama di Gunung Santri, Kecamatan Muntilan, Kab. Magelang Jawa Tengah maka secara tersirat kita akan tergugah kesadaran tentang beberapa ilmu yang paling tidak bisa di ambil hikmah setelah kita mampu menafsirkan metodologi sanepan dan atau isyaroh dimaksud.

Komplek makam yang terletak di Gunung Pring tersebut adalah makam bagi para Ulama yang terdiri dari Kyai Raden Santri berikut seluruh kerabat keturunanya yaitu Kyai Krapyak I, Kyai Krapyak II, Kyai Krapyak III, Kyai Harun, Kyai Abdullah Sajad, Kyai Gus Jogorekso, Raden Moch Anwar AS, Raden Qowaid Abdul Sajak, Kyai Ahmad Abdulhaq dan Kyai Dalhar.

Dikisahkan Kyai Raden Santri adalah salah satu putra Ki Ageng Pamanahan atau saudara kandung Panembahan Senopati ing Ngalogo yang merupakan pendiri dinasty Kerajaan Mataram Islam.

Meruntut nasabnya maka sampai pada Prabu Brawijaya V, Raja terakhir Majapahit yang dikisahkan jika dahulu Prabu Brawijaya memiliki salah satu istri yang bernama Putri Wandan Sari atau Wandan Kuning dan ketika beliau hamil dan akan melahirkan anak dari benih Prabu Brawijaya, maka karena intrik dan konflik yang terjadi di Istana maka bayi tersebut diserahkan pada Patih Gajah Permodo dengan pesan agar bayi tersebut dilenyapkan, namun oleh Ki Patih bayi tersebut justru diberikan kepada Ki Buyut Masahar selanjutnya anak tersebut dirawat oleh Ki Buyut Masahar dan diberi nama Lembu Peteng dan diasuh hingga dewasa.

Dikisahkan yang pada intinya Lembu Peteng kecil dapat diketahui sebagai anak kandung Prabu Brawijaya kemudian diberi nama Raden Bondan Kejawan serta diberi pula hadiah yang berupa senjata pusaka, yang salah satunya adalah tombak Kyai Pleret, setelah dewasa Raden Bondan Kejawan kemudian berguru pada Ki Ageng Tarub yang dalam legenda dikisahkan berhasil menikah dengan Dewi Nawangwulan dan memiliki putri bernama Dewi Nawangsih.

Bahwa, Raden Bondan Kejawan selanjutnya menikah dengan Dewi Nawangsih dan dalam perkawinan tersebut melahirkan anak yaitu Ki Ageng Getas Pendawa yang menurunkan Ki Ageng Sela yang menurunkan Ki Ageng Enis selanjutnya  menurunkan Ki Ageng Pemanahan.

Ki Ageng Pamanahan menikah dengan Nyai Ageng Sabinah yang kemudian menurunkan beberapa anak salah satunya Raden Santri dan Panembahan Senopati, dari Panembahan Senopati maka dari sinilah Dinasti Mataram bermula, dengan demikian maka Raden Santri adalah seorang yang mengalir darah bangsawan (darah biru) yang berujung pada Trah Rajasa (Ken Arok - Ken Dedes) pendiri dan penguasa kerajaan Singosari (1222 - 1229) yang selanjutnya diyakini anak turunnya melahirkan raja raja di Tanah Jawa khususnya.

Raden Santri meski seorang Bangsawan dan saudara kandungnya dari Panembahan Senopati Raja Mataram yang tentu saja memiliki keleluasaan, namun Raden Santri justru keluar dari lingkungan istana dan memilih hidup asketis sebagai seorang ulama yang istiqomah melakukan riyadloh serta gigih melakukan syiar Agama Islam.

Dikisahkan setelah menetap di Dusun Santren pada tahun 1600 M, Kyai Raden Santri sering menyepi untuk mujahadah di bukit Gunungpring, sehingga diyakini jika Kyai Raden Santri adalah ulama pertama yang menyebarkan agama di wilayah sekawan keblat gangsal pancer-nya yaitu gunung Merapi, gunung Merbabu, gunung Andong, gunung Sumbing, dan deretan pegunungan Menoreh di sepanjang Kali Progo.

Keturunan Kyai Raden Santri berturutan adalah Kyai Krapyak I, Kyai Krapyak II, Kyai Krapyak III, Kyai Harun, Kyai Abdullah Sajad, Kyai Gus Jogorekso, Raden Moch Anwar AS, Raden Qowaid Abdul Sajak, hingga Kyai Dalhar, dan termasuk Kyai Ahmad Abdulhaq. Dari anak keturunan Kyai Raden Santri inilah yang kemudian menjadi ulama penyebar dan menjadi tokoh agama Islam di wilayah Gunung Pring hingga saat ini, dalam hal perjuangan dakwah Ke Islaman maupun kebangsaan maka terlihat dari aktifitas dalam Pondok Pesantren Darussalam di Watucongol.

Gunung Pring merupakan salah satu daerah yang secara administratif masuk wilayah Desa Gunung Pring, Kecamatan Muntilan, Kabupaten Magelang Jawa Tengah, sesuai dengan namanya Gunung berarti tanah dataran tinggi yang sekurang kurangnya adalah 500 mdpl (diatas permukaan laut) yang senyatanya adalah semacam bukit namun demikian bisa oleh masyarakat tertentu disebut dengan gunung. Pring berarti bambu yang senyatanya di area ini memang tumbuh banyak bambu yang merupakan variates lokal asli Nusantara, dengan demikian Gunung Pring adalah tanah dataran tinggi yang ditumbuhi banyak pohon bambu yang lebat.

Terlepas dari hikmah keilmuan Agama yang komplek dengan kehalusan rasa maka "sanepo" atau Isim Isyarah (اِسْم إِشَارَة) yang dapat ditarik pengertian dan hikmah ketika bertabaruk dan berziarah ke makam Gunung Pring adalah letak makam yang berada di puncak dataran tinggi yang dikelilingi rimbunnya pohon bambu yang sekurang kurangnya hikmah itu yang pertama adalah keberadaan makam tersebut terletak puncak gunung Pring dengan ketinggian 500 mdpl yang barangkali artinya jika di makam tersebut adalah tempat peristirahatan para ulama sekaligus bangsawan yang luhur karena kesalehan, kealiman dan kedalaman ilmunya yang terkorelasi dengan ketinggian atau kemulyaan derajat dunia maupun akhirat yang secara duniawi maka peran seorang ulama adalah memberi kedamaian, kebaikan dan keseimbangn bagi alam semesta kemudian dalam perspektif nasab seorang Ksatria (bangsawan) maka dengan pola yang telah dilakukannya senyatanya telah berhasil membangun peradaban di tanah Jawa khususnya dan Nusantara pada umumnya sedangkan secara akhirot maka seseorang yang disebut ulama adalah orang yang tak dapat diragukan lagi tingkat ketaqwaanya kepada Allah SWT.

Pelajaran lain yang bisa didapat dari letak makam di tempat tinggi atau di atas puncak bukit/gunung adalah menunjukkan bentuk penghormatan atas derajat dan jasa besar orang yang dimakamkan tersebut selama hidup didunia, selain dari pada itu juga bagian bentuk kesinambungan antara tradisi yang mengandung unsur kepercayaan sambung Ruh, yang oleh orang orang terdahulu direfleksikan dengan pembangunan punden-punden berundak Megalitik

Pelajaran kedua ketika bisa menarik hikmah dengan menggunakan metodologi "sanepo" atau Isim Isyarah (اِسْم إِشَارَة) ketika berziaroh dimakan gunung Pring adalah keberadaan rimbunan pohon bambu alias Pring tersebut. Sebagai orang Indonesia maka tak asing dengan tanaman bambu yang merupakan salah satu tumbuhan serba guna ini meski saat ini banyak produk sintetis pabrikan lebih populer, namun bambu masih tetap tidak dapat terpisahkan dari kegiatan sehari-hari masyarakat di Indonesia. Salah satu keunggulan bambu sebagai tanaman konservasi lingkungan adalah kemampuannya dalam menjaga ekosistem air, karena sistem perakaran tanaman bambu sangat rapat, akar-akarnya menyebar ke segala arah, baik menyamping atau pun ke dalam sehingga lahan tanah yang ditumbuhi rumpun bambu biasanya menjadi sangat stabil, tidak mudah terkena erosi, oleh karena itu air juga lebih mudah menyerap ke dalam tanah yang ditumbuhi tanaman tersebut.

Bertolak dari hal tersebut diatas maka sebenarnya pesan yang dapat kita tarik hikmahnya adalah kita harus bisa seperti pohon pring (bambu) yang bisa memberi manfaat pada semua orang, memiliki akar keilmuan dan laku spiritual yang kuat seperti akar pohon bambu sehingga kita bisa memberikan keseimbangan dan kemanfaatan bagi kelestarian hidup dengan peradaban yang menjunjung tinggi Akhlaqul Karimah untuk mencapai Ridlo Allah SWT.

Wallahua'lam

Lahul Fatihah

Gunung Pring, 28/01/20.
21.30 WIB

Note :
* Diolah dari berbagai sumber primer dan sekunder.
Oleh: Sofyan Mohammad
Pernah nyantri dipesantren kilat sekarang hidup didesa.