Deoxa Indonesian Channels

lisensi

Advertisement MGID

 



Selasa, 03 Maret 2020, 12:09:00 PM WIB
Last Updated 2020-05-19T10:21:36Z
NEWSSejarah dan Budaya

PANEMBAHAN ROMO AMBALIK (Kajoran Klaten )

Advertisement
SIRAH MAQOSIDANA (Sambung Ruh Ulama Nusantara)

Oleh : Sofyan Mohammad

MATALENSANEWS.com-Dalam berbagai literatur baik yang ditulis dalam Serat Centhini (1823), Babad Tanah Jawi hingga tulisan orang Belanda Willem Jacob Hofdijk dalam In't ha harte van Java (1881) maka banyak mengisahkan tentang sosok Santri, Kyai atau Ulama dari Kajoran Klaten  yang sangat kharismatik dan dikenal sangat sakti mandraguna yaitu Panembahan Rama Ambalik.

Panembahan Romo memiliki nama sebutan lain yaitu Syeck Kajoran, Kyai Kajoran,  Raden Kajoran Ambalik serta Panembahan Romo Ambalik yang hidup sejak zaman era pemerintahan Sultan Agung, Mangkurat I hingga Amangkurat II yang selanjutnya dikisahkan jika Panembahan Rama merupakan cicit dari Panembahan Agung Ing Kajoran selaku cikal bakal dan penguasa wilayah Kajoran Klaten, yang merupakan keturunan dari Sayid Kalkum Ing Wotgaleh yang masih trah dari Sunan Pandanaran yang berada di Bayat Klaten, kemudian apabila diruntut lebih jauh maka nasab Panembahan Romo ini akan sampai pada Prabu Brawijaya V Raja Majapahit di satu sisi hingga Kanjeng Nabi Muhammad SAW disisi lain, jika diruntut dari nasab yang berpola patrilineal maupun matrilineal (garis ibu dan garis bapak)

Makam Kyai atau Ulama dari Kajoran Klaten  yang sangat kharismatik dan dikenal sangat sakti mandraguna yaitu Panembahan Rama Ambalik
Melacak silsilahnya melalui berbagai buku dan tulisan yang sudah tersebar luas saat ini maka  Panembahan Romo pada prinsipnya masih kerabat dekat dari pada bangsawan Kerajaan Pajang maupun Kerajaan Mataram Islam karena keluarga Kajoran selalu mempunyai relasi hubungan kekeluargaan melalui perkawinan misalnya satu diantaranya yaitu putri Pangeran Agung Ing Kajoran telah menikah dengan Pangeran Sindusena putra Raja Pajang Prabu Wijaya atau Pangeran Benowo, demikian juga dikisahkan nenek kandung Panembahan Romo juga merupakan putri Panembahan Senopati dari istri Putri Ki Ageng Giring dengan demikian darah yang mengalir dalam diri Panembahan Romo adalah darah ulama sekaligus darah bangsawan yang selanjutnya diperkuat dengan proses laku ilmu dan spiritual yang tuntas sehingga selama beliau hidup  diriwayatkan sebagai seorang yang pemberani dan ksatria oleh karena itu lantas Panembahan Rama Ambalik diyakini memiliki Kharisma dan pengaruh yang luar biasa bagi kalangan bangsawan di Mataram maupun masyarakat umum pada masa itu.

Dari berbagai tulisan maka dapat terbaca jika trah Kajoran memang menjadi trah yang cukup berpengaruh dilingkungan Kraton Mataram Islam, selain karena faktor kharisma keulamaanya maka juga menyangkut relasi kekuatan trah yang menyatu antara nasab Ki Ageng Pamanahan di satu sisi dan nasab Ki Ageng Giring disisi lain.

Berbagai catatan maupun cerita rakyat yang mengisahkan jika Panembahan Rama memiliki kepribadian yang utuh sebagai seorang ulama sekaligus sebagai seorang ksatria, selanjutnya dalam kapasitasnya sebagai seorang rohaniawan maka beliau diriwayatkan merupakan seorang ahli ibadah dan dzikir yang disiplin dengan menjalani kehidupan yang sufiistik, semantara kapasitasnya sebagai seorang ksatria yang mengalir darah bangsawan maka dikisahkan beliau juga pengamal laku topobroto dan olah kanuragan yang mumpuni sehingga terkenal akan kesaktiannya demikian juga dilengkapi dengan keahlian berpolitik dan mengatur siasat yang dapat dilihat dari faktanya yaitu mampu meruntuhkan hegemoni kekuasaan absoluth dari Amangkurat I sekutu Belanda yang nampaknya mampu pula membuat pusing tujuh keliling gabungan pasukan Plered dan serdadu Belanda.

Kisah keberaniannya melawan kedazliman dan sikap kepahlawanan melawan kompeni Belanda menjadi kisah heroik yang melekat pada ingatan masyarakat Jawa pedamalan kala itu, namun sedikit disayangkan torehan tinta atas kehebatannya tidak ditulis secara tuntas oleh pujangga kala itu yang dapat dimaklumi jika pihak orang Belanda lah yang justru menulis dengan tidak obyektif selain hanya bentuk pendeskreditan sebagai upaya mendelegitimasi segala keberhasilannya melawan kedzaliman yang merupakan buah dari kongkalikong antara Belanda dengan rezim Amangkurat I, dari sini dapat disadari jika rupanya "sejarah hanya ditulis oleh pihak pihak yang menang saja".

Meski kupasan tulisan tentang kepahlawanan Panembahan Romo Ambalik Ing Kajoran kurang memadai namun ingatan masyarakat turun temurun tidak tergerus, hal inilah yang barangkali - diyakini - menjadi salah satu inspirator sekitar 150 tahun kemudian oleh Pangeran Ontowiryo (Pangeran Diponegoro) untuk melanjutkan perjuangannya dalam konteks situasi hampir menyerupai yaitu melalui himpunan jejaring ulama dan santri untuk melawan kezaliman birokrat rezim penguasa dibawah ketiak kepentingan kolonialisme Belanda.

Kisah inspiratif yang penuh dengan haru biru kepahlawanan Panembahan Romo Ambalik dari Kajoran Klaten dapat terlacak berangkat dari kisah konstelasi Kerajaan Mataram Islam kala itu - syahdan dikisahkan kerajaan Mataram Islam mencapai puncak kejayaan adalah ketika dipimpin oleh Raden Mas Rangsang yang bergelar Sultan Agung Senapati Ing Ngalaga Ngabdurrachman Pantogomo, beliau memerintah pada tahun 1613 – 1645. Pada masa pemerintahannya tersebut Kerajaan Mataram mencapai puncak kejayaannya karena berhasil menguasai hampir seluruh tanah Jawa mulai bang tengah, bang wetan dan sebagian bang kulon, kisah heroik dan patriotik telah ditorehkan oleh Sultan Agung karena keberanian dan kegigihannya didalam melawan dan menyerang VOC  Belanda di Batavia.

Pada masa kekuasaan Sultan Agung maka diyakini mampu menciptakan konsep agraris yang maju dan tersistematik yang dibeberapa hal masih terpola hingga saat ini, selain itu juga mencapai kemajuan dalam hal pengembangan syiar agama Islam karena secara terlembaga mampu menciptakan kreasi dengan mengakulturasikan antara budaya lokal dengan usul fiqh Islam secara koheren dan elegant, misalnya dapat kita jumpai hingga sekarang dalam sistem hukum adat Jawa yang menjadi salah satu sumber hukum modern saat ini yaitu dalam usul fiqh hukum waris Islam dalam hal pewarisan dibedakan berdasarkan gender yaitu laki laki 1 dan perempuan 1/2, demikian dalam hukum adat Jawa juga mengenal gender dengan sistem pembagian "segendong sepikul" yaitu laki laki sepikul dan perempuan segendong dan seterusnya, hal ini adalah karena hasil "social enigering" dimasa pemerintahanya yang diriwayatkan pula telah mampu membuat sistem peradilan yang baik dan berkeadilan.

Berkembangnya kesenian dan budaya juga tidak luput dari perhatian Sultan Agung sehingga pada dimasa pemerintahannya merupakan salah satu fase terbentuknya struktur perkembangan kesenian dan budaya yang lebih dinamis untuk merangsang kreasi pengembangan oleh generasi berikutnya hingga saat ini, namun yang paling melegenda atas diri Sultan Agung adalah sikap heroiknya untuk melawan penjajah Belanda dengan tagline populer saat itu "sak dumuk sak bathok sak anyeri bumi"

Sepeninggal Sultan Agung maka kekuasaan Mataram Islam beralih kepada Raden Mas Sayidin yang setelah berkuasa menyandang gelar Susuhunan Ing Alaga Kanjeng Susuhunan Prabu Amangkurat Agung
Susuhunan Tegal Wangi atau populer dengan sebutan Amangkurat I yang ketika berkuasa pada tahun 1647 telah memindahkan pusat kerajaan dari kota Gedhe ke kraton Plered dan dalam literatur sejarah tercatat beliau berkuasa dari tahun 1638 - 1647 yang pada masa pemerintahannya selama 9 tahun tersebut maka Kerajaan Mataram Islam mengalami kegoncangan dan perpecahan yang ditandai dengan munculnya banyak pemberontakan, hal ini dikarenakan Amangkurat I telah menjadi sekutu dan berkongsi dengan VOC Belanda sehingga tak dapat diragukan lagi jika Amangkurat 1 telah terhasut politik pecah belah (det vide et impera)  yang menjadi taktik Belanda, selain itu juga patut diduga Amangkurat 1 telah tersandera dengan berbagai perjanjian yang ditekankan oleh Belanda, karena hal tersebut maka Amangkurat 1 harus  berselisih dengan putra mahkotanya sendiri, yaitu Raden Mas Rahmat (Adipati Anom) yang dalam catatan sejarah perselisihan tersebut terjadi karena dilatarbelakangi tentang pergeseran jabatan Adipati Anom yang akan diberikan kepada Pangeran Singasari serta menyangkut pula pernik perselisihan asmara antara ayah dan anak untuk memperebutkan perempuan selir yang bernama "Rara Oyi".

Dikisahkan selama memerintah Mataram Islam maka Amangkurat I menggunakan tangan besi dan sewenang wenang termasuk kepada kaum para ulama dan santri yang mana telah dikisahkan jika Amangkurat I pernah secara keji membantai tak kurang 6000 orang ulama dan santri, membunuh pula saudara termudanya yaitu Pangeran Alit dan yang tak kurang tragis adalah upayanya membatasi yurisdiksi pengadilan agama yang sudah diterapkan dan berlaku sejak pemerintahan Sultan Agung.

Dari segala kesewenang wenangan Amangkurat I tersebut maka yang paling berani melakukan perlawanan secara sengit adalah Panembahan Rama Ambalik yang notabenenya masih termasuk kerabat dekat Kerajaan Mataram, karena hubungan kekerabatan tersebut maka antara Panembahan Rama dengan Kraton Mataram pada awalnya tidak ada permasalahan namun ketika Amangkurat 1 dianggap telah benar benar dzolim karena membunuh keluarga Kajoran yaitu Wiramenggala maka Panembahan Kajoran mulai melakukan perlawanan terhadap Amangkurat 1, untuk itu Panembahan Romo Ing Kajoran bersama menantunya yaitu Raden Trunajaya (putra Cakraningrat I dari Madura) yang juga memiliki kepentingan yang sama karena ayahnya juga dibunuh oleh Amangkurat I, maka akhirnya menyusun berbagai rencana untuk melakukan perlawanan terhadap Amangkurat 1 yang pada saat bersamaan Adipati Anom (anak Amangkurat I) juga memiliki kepentingan yang sama karena adanya perselisihan dengan ayahnya yang pada akhirnya bersatulah tiga kekuatan yang memiliki kepentingan yang sama yaitu Panembahan Romo, Raden Trunojoyo dan Adipati Anom, ketiganya menggabungkan kekuatan untuk melakukan perlawanan terhadap Amangkurat 1, yang meskipun dalam perkembangan selanjutnya Adipati Anom akhirnya  meninggalkan kongsi ini dan kembali berpihak pada ayahnya, namun pada babak berikutnya  Panembahan Romo mendapatkan kekuatan baru yaitu bergabungnya pasukan yang dipimpin oleh Pangeran Purbaya, paman Amangkurat I yang justru berpihak untuk bergabung dengan Panembahan Romo Kajoran melakukan perlawanan terhadap Amangkurat 1.

Diyakini jika Panembahan Rama dalam melakukan perlawanan terhadap Amangkurat 1 dengan cara menghimpun, melatih dan mendidik para Santri, Kyai dan Rakyat Kajoran dengan dibekali ilmu agama dan ilmu kanuragaran keprajuritan yang mumpuni sehingga pasukan santri yang terhimpun dan tergabung dengan pasukan Raden Trunojoyo serta Pasukan Pangeran Purboyo pada akhirnya  mampu mengalahkan pasukan Kerajaan Mataram Islam karenanya pada tanggal 2 Juni 1677, Keraton Pleret berhasil direbut dan ditaklukan hingga membuat  Amangkurat I harus melarikan diri ke Batavia untuk meminta bantuan kepada Belanda, namun selama dalam pelariannya itu Amangkurat I jatuh sakit hingga akhirnya wafat dan di makamkan di Tegalwangi, sebuah desa diwilayah Tegal dan sebelum meninggal maka Amangkurat I sempat meminta bantuan Belanda untuk menuntut balas atas kekalahannya.

Foto : Sofyan Mohammad
Dikisahkan setelah Keraton Pleret berhasil dikuasai baik Reden Trunojoyo maupun Panembahan Romo Kajoran sama sekali tidak berminat menguasai dan menduduki tahta Mataram, karenanya setelah insiden tersebut justru Adipati Anom yang pada akhirnya menjadi Raja Mataram setelah Amangkurat I meninggal dunia, tatkala sudah menjadi raja maka Adipati Anom yang bergelar  Amangkurat II memindahkan Kraton dari Plered ke Kartosuro dan dikisahkan pula sering menggunakan pakaian kebesaran dinas ala orang Eropa sehingga populer dengan sebutan Sunan Amral.

Sunan Amral selama memerintah Kraton Kartosuro pada akhirnya juga bersekutu dengan Belanda karena itu pasukanya dengan dibantu oleh Pasukan Belanda terus memburu Raden Trunojo berikut Panembahan Romo Ambalik, bahkan dikisahkan gabungan pasukan tersebut menyerang Tembayat dan Kajoran hingga memaksa Panembahan Rama harus mundur hingga sampai Gunung Kidul yang dari sinilah akhir perlawanannya, karena melalui sebuah drama pengepungan yang dilakukan oleh Pasukan Belanda di desa Melambang maka pada akhirnya Panembahan Romo Ambalik wafat sebagai seorang Ksatria dan Pahlawan pada 14 September 1679 dan akhirnya di makamkan di Kajoran yang tidak jauh dari makam eyang buyutnya Panembahan Agung Ing Kajoran.

Bertolak dari kisah tersebut maka dapat dipahami jika semangat  perjuangan untuk melawan Penjajah Belanda di tanah Jawa secara konsisten dilakukan oleh himpunan kekuatan Ulama, Kyai dan Santri yang dimulai oleh Sultan Agung kemudian dilanjutkan oleh generasi berikutnya yaitu Panembahan Romo Ing Kajoran yang merupakan seorang Ulama dengan menggunakan jaringan Kyai dan Santri hingga membuat pihak Belanda menjadi frustasi yang selanjutnya melalui kewenangan yang dimiliki Amangkurat I maka telah melakukan pembataiaan terhadap para Ulama/ Kyai, namun demikian perjuangan tetap dilanjutkan oleh generasi berikutnya yaitu oleh Pangeran Diponegoro yang juga menggunakan jaringan himpunan Ulama, Kyai dan Santri didalam melawan Kompeni Belanda hingga diceritakan menjadi perang yang membuat pihak Belanda mengalami Kebangkrutan karena banyak menguras energi dan biaya karena peperangan selama 5 tahun yang dikenal dengan sebutan perang Jawa, pada beberapa periode berikutnya perjuangan dari jaringan himpunan Ulama, Kyai dan Santri seperti Hadratusyech Hasyim Asy'ari, KH. Ahmad Dahlan, KH. Wahab Hasbullah maupun Kyai Kyai lain dengan jejaring hubungan guru murid dari seluruh Nusantara yang bersama sama bahu membahu beserta gabungan element lainnya secara masif masih melakukan perlawanan terhadap penjajah Belanda hingga puncaknya pada 17 Agustus 1945 Negara Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya.

Dengan sambung ruh melalui sambang menziarahi makam Ulama Panembahan Romo Ambalik Ing Kajoran Klaten maka sekurang kurangnya adalah dapat meneladani sikap kepahlawananya agar dapat memperteguh semangat dan kesadaran Nasionalisme kita sebagai generasi penerus dan secara rohani merupakan olah roso dalam perspektif ritualitas diri agar lebih dapat meningkatkan keimanan dan ketaqwaan kita kepada Allah SWT, selanjutnya dengan ratapan doa tercurah semoga segala kesalahan dan kekhilafan Panembahan Romo Ambalik Ing Kajoran sewaktu hidup diampuni oleh Allah SWT dan dapat diterima segala amal kesalehan dan darma baktinya terhadap Agama, Nusa dan Bangsa, semoga segala Barokah tetap tercurah kepada semua orang yang dapat mengingat dan menghormati para Pahlawan.

Wallahua'lam

Lahul Fatihah.

Klaten, 20 Febuari 2020.

Di Sari dari berbagai sumber tertulis, wawancara dengan Juru kunci makam maupun diskusi dengan sejarawan dan spiritualis.

Penulis adalah penggemar sejarah yang sehari hari tinggal di desa.