Deoxa Indonesian Channels

lisensi

Advertisement MGID

 



Sabtu, 30 Mei 2020, 10:45:00 AM WIB
Last Updated 2020-05-30T04:43:29Z
NEWSOpini

PAGEBLUK Dan ANCAMAN PACEKLIK (Renungan situasi dan mitigasi Pendemi Covid - 19)

Advertisement
Oleh : @ Sofyan Mohammad

MATALENSANEWS.com-Terhitung sejak awal bulan Maret tepatnya pada tanggal 2 Maret 2020 yaitu sejak diumumkanya oleh Pemerintah ada Warga Negara Indonesia yang positif terpapar Covid - 19 maka publik Indonesia mulai gegap gempita dengan pemberitaan tentang Coronavirus, baik melalui media cetak, media elektronik maupun media online pemberitaan sedemikian cepat dan dramatis seperti amukan banjir bandang yang dapat memporak porandakan segala keyakinan masyarakat publik.

Dalam jagad sosial media hinggar bingarnya jauh lebih ekstrim karena setiap detik masyarakat penguna medos kita disuguhi dengan topik itu itu saja yaitu tentang Covid 19, rasa rasanya tidak ada hal lain yang pantas disuguhkan kecuali tentang Covid 19.

Para pengguna sosmed berselancar serba bebas untuk mengubah dirinya mendadak menjadi ahli kesehatan yang menyampaikan pendapat atau status tentang Covid -19 dalam perspektif medis, mendadak menjadi ahli politik, mendadak menjadi ahli inteletejen, mendadak menjadi ahli ekonomi, mendadak menjadi ahli detektif dan semua juga mendadak menjadi jurnalis dengan mewartakan opini yang tidak dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya, namun tak kurang situasi seperti itu publik Indonesia juga sempat menikmati remah remah mendadak menjadi campursari dengan tagline "AMBYARR" ketika sang maestro campursari Indonesia Didi Kempot secara mendadak meninggal dunia pada tanggal 5 Mei 2020 maka saat itu Coronavirus sedikit tergeser karena rasa duka publik atas meninggalnya "The Lord Godfather of Brokenheart"

Memasuki pertengahan bulan Romadhon maka segala tradisi kemapanan publik menjelang hari raya Idul Fitri 1441 H menciptakan kegelisahan dan kecemasan luar biasa karena segala kemapanan tradisi tersebut terancam akan tercerabut oleh Pendemi Covid 19, semua energi terkuras untuk menghindari dan mengantisipasi naiknya kurva dan grafik atas jumlah penderita positif Covid - 19, masyarakat baik secara pribadi maupun melalui ormas atau kesatuan entensitas  tertentu dan segelintir penjabat dan politikus yang ikut mendadak menjadi dermawan guna membantu para kaum terdampak diakar rumput dan pada saat bersamaan berbarengan pula dengan realisasi program stimulus yang dilakukan pemerintah terhadap warga terdampak pendemi covid - 19, namun yang terjadi di lapangan justru tercipta kegaduhan pada masyarakat itu sendiri dengan menyasar pada data data yang tidak sesuai dengan kondisi riil di lapangan dengan dalih tidak berkeadilan, pilih kasih, tidak tepat sasaran dll dan dalam situasi ini tentu yang menjadi bulan bulanan adalah para aparatur pemerintah  tingkat bawah tingkat RT sampai kelurahan, yang pada intinya telah tergambar adanya carut marut atas sistem distribusinya.

Dalam literatur budaya Jawa maka kondisi yang sedang dialami oleh Dunia dan Indonesia pada tahun 2020 disebut dengan pagebluk yang merupakan istilah dalam tradisi Jawa untuk menggambarkan kondisi mewabahnya penyakit yang menular dan sangat berbahaya, sehingga memiliki efek yang luar biasa karena akan memakan begitu banyak korban jiwa,  oleh orang orang tua Jawa terdahulu menggambarkan dahsyatnya pagebluk hingga membuat narasi yang dramatis yaitu  “Isuk loro sore mati, sore loro esuk mati” yang artinya wabah penyakit tersebut berlangsung sangat singkat untuk memakan korban jiwa dan celakanya setting situasi dalam  Pendemi Covid 19 juga hampir serupa yang bertolak dari narasi pemberitaan media mainstream berikut opini opini di sosmed yang rasa rasanya juga demikian sangat menakutkan dan sungguh sangat dramatis.

Pagebluk Pendemi Covid -19 menganulir banyak berita yang beredar adalah wabah penyakit  yang tidak hanya mengancam kesehatan dan keselamatan jiwa manusia, namun lebih dari itu, ternyata pendemi ini juga mengancam kondisi sosial, ekonomi, budaya, politik bahkan menyangkut semua aspek kehidupan.

Kebijakan oleh otoritas pemerintah adalah membatasi semua aktifitas sosial dan keagamaan yang melibatkan banyak orang karenanya memaksa setiap warga masyarakat untuk tetap tinggal di rumah (stay at home), bekerja dari rumah (work from home), belajar dari rumah (study from home) dan beribadah di rumah (pray at home).

Karena situasi tersebut dampak yang paling terimbas adalah runtuhnya bangunan ekonomi karena hampir terlihat sentra sentra ekonomi menjadi stagnan mengingat adanya pembatasan aktifitas sosial maka bagi para pekerja disektor Informal tentu tidak bisa serta merta hanya tinggal di rumah saja, kondisi itu terutama dialami oleh mereka yang bekerja harian di sektor-sektor informal, dimana para pekerja dengan upah harian terpaksa masih keluar rumah untuk menjemput rezeki, dengan memaksa diri untuk tetap bekerja guna menghidupi keluarga sebagai bagian  mempertahankan eksistensi kehidupan sehingga kebijakan yang berupa pembatasan social (social distancing) dan pengaturan jarak fisik (physical distancing) seakan tidak berlaku bagi para pekerja harian, sebab, yang dipertaruhkan adalah keberlangsungan hidup diri dan keluarga.

Pada sisi lain regulasi negara tidak bisa serta merta ditetapkan untuk dapat memaksa para pekerja harian untuk hanya berada di rumah saja, meski berbagai program bantuan langsung telah ditetapkan, namun mengingat kondisi pendemi yang belum jelas kapan akan berakhir maka tentu saja pemerintah tidak cukup memiliki anggaran yang guna menjamin kebutuhan hidup masyarakat sampai kondisi pendemi benar benar berakhir.

Pada situasi ini nampaknya Pemerintah mulai melonggarkan bebarapa kebijakan tentang pembatasan aktifitas sosial dengan maksud adalah agar aktifitas ekonomi secara pelan pelan dapat  menggeliat, karena tantangan yang pasti dihadapi jika kondisi produktifitas ekonomi stagnan adalah paceklik atau kekurangan bahan pangan yang digambarkan sebagai situasi yang serba sulit dan itu nampaknya adalah ancaman lain yang nyata dapat terjadi mengiringi proses Pagebluk itu sendiri.

Melihat situasi seperti itu maka musim paceklik menjadi sebuah keniscayaan yang apabila paceklik benar benar terjadi maka hal yang mengawali adalah semakin tingginya tingkat pengangguran, karena berlangsung secara massif pemutusan hubungan kerja (PHK) sehingga produktivitas ekonomi jadi terhenti dan sisi lainnya adalah faktor musim dan cuaca yang memang menghambat produktifitas hasil olahan pangan.

Berkaca pada proses pagebluk pada masa masa sebelumnya maka hal yang menyertai  adalah paceklik demikian nampaknya dalam pagebluk Covid-19 juga akan diiringi dengan musim paceklik. Musim paceklik dalam khasanah budaya Jawa dapat dipahami sebagai kondisi yang serba sulit, tidak tersedia kebutuhan pokok, dan kegiatan perdagangan berhenti total.

Selanjutnya jika pagebluk ini terus berlangsung dan ternyata apabila mitigasi yang berupa kebijakan penanganan pendemi ini tidak tuntas dan bernas maka paceklik menurut para ahli bakal benar benar terjadi di bumi Nusantara ini.

Dalam kondisi paceklik akan menciptakan problem yang multi efek karena segala persoalan sosial sangat mungkin timbul secara bersamaan dan tak kurang berdampak pada situasi chaos dan hura hura dalam pentas panggung politik.

Situasi paceklik yang serba sulit terlebih menyangkut perut yang berarti eksistensi kehidupan maka bisa menjadi media kebenaran atau bahkan "pembenaran" bagi pihak pihak tertentu untuk dijadikan dasar guna melakukan huru hara atau ontran-ontran karena logikanya orang dalam keadaan lapar dan kesulitan ekonomi maka akan sangat mudah terbakar emosinya, terlebih jika hal tersebut diawali dengan proses provokasi dan agitasi.

Situasi paceklik sangat mungkin akan ditunggangi oleh para penumpang gelap untuk melakukan huru hara dan ontran ontran bukan hanya pada bidang sosial dan ekonomi namun juga pada panggung politik, dimana penumpang gelap tersebut akan memanfaatkan rasa lapar dan emosi masyarakat untuk bergerak menuntut jawab atas ketidak mampuan  pemerintah didalam mengatasi pagebluk sampai pada paceklik tersebut.

Setelah masyarakat akar rumput terdampak Covid -19 mendapatkan bantuan langsung dari pemerintah melalui program stimulus dan barangkali pula bertumpuk karena mendapatkan bantuan langsung dari para dermawan non pemerintah maka ketersedian pangan menjadi cukup untuk beberapa bulan bahkan setelah merayakan hari raya Idul Fitri 14141 H tentu masyarakat masih melimpah makanan yang hendak disantap dan tinggal memilih hidangan apa yang akan disantap diantara banyak pilihan makananan yang berjejer. Pilihan menu makanan apa yang hendak disantap bisa saja terjejer melimpah dirumah atau di warung dan restoran restoran yang masih buka baik secara display maupun online melalui aplikasi gofood namun demikian jika paceklik benar benar terjadi maka hal tersebut hanya lah imajinasi fiktif belaka karena jangankan menu makanan berjejer tinggal dipilih hanya sekedar untuk mengganjal perut yang melilit karena lapar saja tentu adalah hal yang sangat istimewa dirasakan ketika kondisi musim paceklik.

Ketersediaan kebutuhan pangan dan kesejahteraan masyarakat adalah
tanggung jawab Pemerintah sesuai dengan amanat konstitusi UUD 1945 yang secara eksplisit memberi amanat kepada pemerintah untuk melindungi hak-hak warga negara, oleh
karena itu jika pemerintah melalaikan masalah ketersediaan bahan pokok pangan dan kesejahteraan masyarakat maka berarti pelanggaran terhadap konstitusi. Ketersedian bahan pokok pangan dan antisipasi paceklik adalah agenda yang menjadi suatu keharusan bagi pemerintah.

Menurut para ilmuwan sosial menyampaikan bahwa kelaparan karena terkorelasi dengan kemiskinan, dimana kemiskinan itu prinsipnya  tidak lahir dengan sendirinya dan juga bukan muncul tanpa sebab, tetapi kondisi ini banyak
dipengaruhi oleh struktur sosial, ekonomi, dan politik.Dari sini dapat ditelaah keberadaan orang miskin sebagai rakyat yang tertindas yang dalam perspektif tersebut maka pada tataran faktual, kemiskinan pada masyarakat yang sedang berkembang ternyata tidak hanya menyebabkan penderitaan yang tak
berkesudahan, melainkan juga kematian
manusia sebelum waktunya. Penindasan
sistematis baik melalui konflik bersenjata maupun karena salah arah kebijakan pemerintah maka senyatanya juga telah
memperburuk situasi mereka yang tertindas, selanjutnya pada tataran historis-etis, penderitaan kaum miskin dan tertindas itu disebabkan oleh struktur-struktur yang tidak adil baik di tingkat lokal maupun global yang lebih jauh telah menghasilkan kekerasan yang melembaga (institutionalized violence) dan korbannya pertama-tama adalah mereka yang miskin.

Pegebluk Covid -19 dan ancaman musim paceklik atau situasi serba sulit yang menyangkut kebutuhan pokok pangan menjadi salah satu ancaman serius yang tentu sangat-sangat menghantui masyarakat, mengutip Global Hunger Index 2018, maka apabila tanpa pendemi saja Indonesia dinilai memiliki ancaman kelaparan yang cukup serius dan menuntut perhatian lebih,  apalagi kondisi diperparah dengan situasi Pendemi maka ancaman paceklik adalah benar benar momok yang sangat mengantui.

Apabila kondisi normal tidak mengalami pagebluk di Indonesia menurut laporan lembaga nirlaba Welthungerhilfe dan Concern Worldwide maka dalam hitungannya indeks global kelaparan berdasarkan empat indikator, diantaranya adalah kasus kurang gizi dari populasi penduduk, stunting pada anak usia di bawah 5 tahun, kematian anak di bawah usia 5 tahun, dan anak usia di bawah 5 tahun yang tidak dirawat dengan baik, adapun indeks kelaparan di Indonesia mendapat skor 21,9 dan berada pada tingkat serius untuk ditangani, nah dari sini saja kita bisa berpijak jika selanjutnya pagebluk  Covid -19 benar benar menuntut perhatian yang sangat sangat serius dari pemerintah agar paceklik dapat dihindari yang sekurang kurangnya bisa diantisipasi, karena ancaman itu seakan akan sudah tidak jauh dari pelupuk mata.

Sebagai bangsa maka tentu kita memiliki sejarah tentang pegebluk dan pacekik, dahulu ada pengalaman telah meremehkan datangnya pagebluk sehingga luput dalam metodologi mitigasinya, ketika menyadarinya maka pagebluk itu sudah jauh merasuk dan berbarengan dengan datangnya paceklik, lantas apakah kita sudah berguru kepada pengalaman, atau melupakannya?

* Hasil diskusi bersama dengan sahabat sahabat GP Ansor Kabupaten Semarang di Ponpes Baitul Qur'an Aswaja, Panjang Lor Ambarawa, 28/05/20220
** @ Penulis adalah masyarakat kecil terdampak pendemi yang sehari hari tinggal di desa.