Advertisement
Oleh: Dolfie Rompas, S.Sos, SH, MH
Jakarta,MATALENSANEWS.com- Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor Nomor 56/PUU-XVII/2019 menyatakan bahwa Pasal 7 ayat (2) huruf g Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota, menjadi Undang- Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5898) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945. Oleh karenanya, pasal 7 ayat (2) huruf g tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai telah melewati jangka waktu 5 (lima) tahun setelah mantan terpidana selesai menjalani pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia melalui putusannya nomor 56/PUU-XVII/2019 tersebut pada kesimpulannya menetapkan bahwa bunyi Pasal 7 ayat (2) huruf g Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5898), selengkapnya adalah:
Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
g. (i) tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih, kecuali terhadap terpidana yang melakukan tindak pidana kealpaan dan tindak pidana politik dalam pengertian suatu perbuatan yang dinyatakan sebagai tindak pidana dalam hukum positif hanya karena pelakunya mempunyai pandangan politik yang berbeda dengan rezim yang sedang berkuasa; (ii) bagi mantan terpidana, telah melewati jangka waktu 5 (lima) tahun setelah mantan terpidana selesai menjalani pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan secara jujur atau terbuka mengumumkan mengenai latar belakang jati dirinya sebagai mantan terpidana; dan (iii) bukan sebagai pelaku kejahatan yang berulang-ulang;
Terkait dengan Putusan MK itu, maka sebagai pelaksana regulasi, KPU seharusnya bertugas untuk melaksanakan apa yang sudah diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi. Harap diingat bahwa putusan MK tersebut bersifat final dan mengikat sehingga harus dilaksanakan oleh semua pihak terkait. Seharusnya KPU RI tidak perlu mengeluarkan surat edaran tentang masalah mantan terpidana yang akan mengikuti Pilkada karena dapat menimbulkan polemik dan masalah baru di setiap daerah yang akan menyelenggarakan Pilkada. Putusan MK telah mengakomodir persoalan itu dan harus menjadi pedoman dalam implementasinya di Pilkada 2020 ini.
Lebih jauh, yang dimaksud dengan terpidana telah selesai menjalani pidana penjara, artinya sang terpidana tidak lagi berada dalam kurungan atau dalam suatu ruangan bangunan. Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), yang dimaksud dengan penjara adalalah bangunan tempat mengurung orang hukuman, yakni gedung lembaga pemasyarakatan.
Jadi setiap orang yang sudah selesai menjalani pidana penjara, artinya yang bersangkutan sudah tidak lagi berada di dalam gedung lembaga pemasyarakatan alias sudah berada di luar lembaga pemasyarakatan, dan lazimnya disebut mantan terpidana. Hal ini sebagaimana yang juga dimaksudkan oleh Fatwa MA No. 30/Tuaka.Pid/IX/2015 tanggal 16 September 2015.
Sebagai contoh kasus untuk calon Gubernur Bengkulu, Saudara Agusrin, yang akan maju pada Pilkada serentak Desember mendatang. Agusrin telah dibebaskan atau tidak lagi menjalani pidana penjara sejak tahun 2014. Walaupun statusnya bebas bersyarat, namun beliau memenuhi syarat untuk ikut pada Pilkada 2020, karena telah melewati 6 tahun setelah menjalani pidana penjara. Berdasarkan putusan MK yang telah diuraikan di atas, Agusrin dapat dinyatakan berhak mengikuti kontestasi di Pilkada tahun ini.
Mari kita doakan semoga Pilkada Serentak pada bulan Desember 2020 nanti dapat berjalan lancar dan aman dengan tetap disiplin menjalankan protokol Covid19. (DLF/Red)
_Penulis Dolfie Rompas, S.Sos, SH, MH adalah praktisi hukum, berdomisili di Jakarta_
Jakarta,MATALENSANEWS.com- Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor Nomor 56/PUU-XVII/2019 menyatakan bahwa Pasal 7 ayat (2) huruf g Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota, menjadi Undang- Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5898) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945. Oleh karenanya, pasal 7 ayat (2) huruf g tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai telah melewati jangka waktu 5 (lima) tahun setelah mantan terpidana selesai menjalani pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia melalui putusannya nomor 56/PUU-XVII/2019 tersebut pada kesimpulannya menetapkan bahwa bunyi Pasal 7 ayat (2) huruf g Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5898), selengkapnya adalah:
Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
g. (i) tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih, kecuali terhadap terpidana yang melakukan tindak pidana kealpaan dan tindak pidana politik dalam pengertian suatu perbuatan yang dinyatakan sebagai tindak pidana dalam hukum positif hanya karena pelakunya mempunyai pandangan politik yang berbeda dengan rezim yang sedang berkuasa; (ii) bagi mantan terpidana, telah melewati jangka waktu 5 (lima) tahun setelah mantan terpidana selesai menjalani pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan secara jujur atau terbuka mengumumkan mengenai latar belakang jati dirinya sebagai mantan terpidana; dan (iii) bukan sebagai pelaku kejahatan yang berulang-ulang;
Terkait dengan Putusan MK itu, maka sebagai pelaksana regulasi, KPU seharusnya bertugas untuk melaksanakan apa yang sudah diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi. Harap diingat bahwa putusan MK tersebut bersifat final dan mengikat sehingga harus dilaksanakan oleh semua pihak terkait. Seharusnya KPU RI tidak perlu mengeluarkan surat edaran tentang masalah mantan terpidana yang akan mengikuti Pilkada karena dapat menimbulkan polemik dan masalah baru di setiap daerah yang akan menyelenggarakan Pilkada. Putusan MK telah mengakomodir persoalan itu dan harus menjadi pedoman dalam implementasinya di Pilkada 2020 ini.
Lebih jauh, yang dimaksud dengan terpidana telah selesai menjalani pidana penjara, artinya sang terpidana tidak lagi berada dalam kurungan atau dalam suatu ruangan bangunan. Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), yang dimaksud dengan penjara adalalah bangunan tempat mengurung orang hukuman, yakni gedung lembaga pemasyarakatan.
Jadi setiap orang yang sudah selesai menjalani pidana penjara, artinya yang bersangkutan sudah tidak lagi berada di dalam gedung lembaga pemasyarakatan alias sudah berada di luar lembaga pemasyarakatan, dan lazimnya disebut mantan terpidana. Hal ini sebagaimana yang juga dimaksudkan oleh Fatwa MA No. 30/Tuaka.Pid/IX/2015 tanggal 16 September 2015.
Sebagai contoh kasus untuk calon Gubernur Bengkulu, Saudara Agusrin, yang akan maju pada Pilkada serentak Desember mendatang. Agusrin telah dibebaskan atau tidak lagi menjalani pidana penjara sejak tahun 2014. Walaupun statusnya bebas bersyarat, namun beliau memenuhi syarat untuk ikut pada Pilkada 2020, karena telah melewati 6 tahun setelah menjalani pidana penjara. Berdasarkan putusan MK yang telah diuraikan di atas, Agusrin dapat dinyatakan berhak mengikuti kontestasi di Pilkada tahun ini.
Mari kita doakan semoga Pilkada Serentak pada bulan Desember 2020 nanti dapat berjalan lancar dan aman dengan tetap disiplin menjalankan protokol Covid19. (DLF/Red)
_Penulis Dolfie Rompas, S.Sos, SH, MH adalah praktisi hukum, berdomisili di Jakarta_