Advertisement
"Permasalahannya, jika kita cermati lampiran yang terdapat dalam UU No.17/2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional, Bab Pendahuluan angka 4 dan angka 5, disebutkan dengan tidak adanya Garis Besar Haluan Negara (GBHN), maka tidak ada lagi rencana pembangunan jangka panjang. Keleluasaan yang diberikan bagi calon presiden-calon wakil presiden untuk menyampaikan visi, misi, dan program pembangunan pada saat berkampanye justru berpotensi menimbulkan ketidaksinambungan pembangunan dari satu masa jabatan presiden-wakil presiden ke masa jabatan presiden-wakil presiden berikutnya," ujar Bamsoet dalam Kuliah Umum di Universitas Pamulang, 'Perlukah Haluan Negara Dihidupkan Kembali', secara virtual dari Ruang Kerja Ketua MPR RI, Jakarta, Senin (26/10/20).
Ketua DPR RI ke-20 ini menerangkan, desentralisasi dan penguatan otonomi daerah berpotensi mengakibatkan tidak sinerginya perencanaan pembangunan antar daerah, serta antara daerah dan pusat. Untuk itu, maka ditetapkan sistem perencanaan pembangunan melalui Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional.
"Dari uraian tersebut, kiranya dapat ditarik kesimpulan awal bahwa kita memang memerlukan penjabaran lebih lanjut dari cita-cita dan tujuan Indonesia merdeka. Maka sebenarnya, perdebatan menghadirkan pokok-pokok haluan negara bukanlah terletak pada urgensinya, melainkan terletak pada bentuk hukumnya. Apakah perlu diatur dalam bentuk ketetapan MPR, atau cukup undang-undang, atau ada alternatif lain," terang Bamsoet.
Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia ini mengungkapkan, dari serangkaian diskusi yang dilakukan MPR dengan berbagai kalangan seperti tokoh masyarakat, pakar, dan akademisi, hingga organisasi kemasyarakatan, pada umumnya sependapat bahwa Indonesia memerlukan haluan negara untuk menjaga pembangunan yang berkelanjutan, serta integrasi sistem perencanaan pembangunan pusat dan daerah. Dorongan yang sangat kuat agar MPR kembali memiliki wewenang menetapkan haluan negara, antara lain datang dari Forum Rektor, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, Pengurus Pusat Muhammadiyah, hingga Majelis Tinggi Agama Konghucu.
"Dari hasil survei yang dilakukan MPR periode 2014-2019, sebanyak 81,5 persen responden menyatakan perlu reformulasi sistem perencanaan pembangunan nasional model GBHN, dan hanya 18,5 persen yang menjawab tidak perlu. Alasan yang paling dirasakan dan yang paling dekat dengan kepentingan masyarakat adalah karena saat ini pelaksanaan pembangunan nasional dianggap tidak berkesinambungan," ungkap Bamsoet.
Wakil Ketua Umum SOKSI ini menambahkan, sistem perencanaan pembangunan yang ada, dirasa tidak cukup memberikan peta arah dan haluan yang berkelanjutan bagi pembangunan nasional. Alasan lain yang muncul adalah karena saat ini tidak diatur dengan jelas mekanisme pertanggungjawaban presiden dalam melaksanakan wewenang dan tugasnya terkait kebijakan perencanaan pembangunan yang di dalamnya termuat visi, misi dan program presiden termasuk janji politik yang disampaikan saat Pemilu.
"Terkait lembaga yang dianggap paling tepat merumuskan haluan negara, MPR mendapat porsi kepercayaan paling tinggi. Sebanyak 47,9 persen menilai lembaga MPR RI paling tepat menyusun haluan negara. Hal ini mengisyaratkan bahwa publik masih percaya bahwa MPR sebagai representasi kedaulatan rakyat dan perwujudan paling komprehensif keterwakilan rakyat," tandas Bamsoet.
Mantan Ketua Komisi III DPR RI ini menuturkan, mengenai bentuk hukum yang paling tepat bagi sistem perencanaan nasional haluan negara, mayoritas publik menilai ketetapan MPR adalah bentuk hukum yang paling tepat, yaitu 52,4 persen.
"Di antara alasannya, karena Ketetapan MPR dalam urutan tata hukum di Indonesia berada di bawah UUD NRI Tahun 1945 dan di atas undang-undang. Ketetapan MPR juga merupakan produk hukum yang dibuat oleh lembaga perwakilan yang paling representatif yang terdiri dari anggota DPR dan anggota DPD," pungkas Bamsoet. (KS)