Deoxa Indonesian Channels

lisensi

Advertisement MGID

 



Kamis, 23 Desember 2021, 12:44:00 PM WIB
Last Updated 2021-12-23T05:44:53Z
BERITA UMUMNEWS

Ahli Pidana: Penetapan Tersangka Tidak Sah Apabila Proses Penyidikan Melanggar Hukum Acara Pidana

Advertisement


Tangerang,MATALENSANEWS.com - Sidang Praperadilan di buka kembali Kamis tanggal 23 Desember 2021 dengan agenda pemeriksaan saksi fakta dan ahli pidana, dihadiri oleh pihak Pemohon dan Termohon. 


Pemeriksaan saksi ahli pidana Dr Dwi Seno Widjanarko, SH, MH ditanyakan apakah akibat hukum apabila penetapan tersangka dilakukan dengan proses hukum yang melanggar hukum acara pidana? "Proses penegakan hukum, ‘due process of law’ yang melawan hukum acara pidana akan menyebabkan, penetapan Tersangka cacat hukum pula,” katanya. 


“Karena Penetapan tersangka, adalah kesatuan dari "due process of law" dengan proses penyidikan. KUHAP di buat untuk menegakkan HAM dan Hak Konstitusional Warga negara di mana diatur dalam Pasal 28D ayat 1 UUD 1945 mengenai kepastian hukum yang adil. Sehingga dalam penegakan hukum ada hukum acara pidana yang wajib di lakukan oleh penyidik tanpa melanggar HAM," lanjutnya. 


Ketika di tanya oleh Advokat Alfan Sari, SH, MH dari LQ Indonesia Lawfirm mengenai apakah boleh dan adakah sanksi apabila penyidik menegakkan hukum dengan melanggar KUHAP? 


Dijawab oleh Ahli: "penyidik WAJIB menegakkan hukum sesuai Hukum Acara Pidana, kata wajib berarti, tidak boleh tidak. Sanksinya apabila tidak melakukan sesuai Hukum Acara Pidana diatur di pasal 421 KUHP tentang Penyalahgunaan wewenang dengan ancaman pidana 2 tahun 8 bulan." 


Selanjutnya diperiksa keterangan saksi oleh Ibu Endang, yang menjelaskan bahwa dirinya diajak sebagai saksi oleh Advokat Hamdani, SH, MH dari LQ Indonesia Lawfirm ke kepolisian Resort Kota Tangerang dan Kejaksaan negeri Kota Tangerang dan menyaksikan bahwa keterangan yang didengar adalah Kepolisian tidak pernah memberikan SPDP kepada Para Pemohon dalam jangka waktu 7 hari dan mendengar penjelasan petugas PTSP  Ibu Angel menerangkan bahwa Kejaksaan tidak pernah menerima SPDP dalam waktu 7 hari, yang diterima hanyalah Surat Penetapan Tersangka, dan percakapan tersebur direkam untuk bukti persidangan. 


Advokat Alfan Sari, SH, MH dengan lantang menegaskan "Sudah jelas semua pihak dengar dari keterangan Ahli Pidana bahwa Pasal 109 ayat 1 jo Putusan MK 130 dengan jelas menyebutkan Penyidik WAJIB memberikan SPDP paling lambat 7 hari setelah keluar Sprindik tanggal 8 April 2021, sedangkan penyidik baru menyerahkan SPDP di Bulan Nopember 2021, jauh setelah 7 hari lewat. 


“Kata WAJIB, berarti harus dilakukan oleh penyidik. Ahli Pidana sudah menjelaskan bahwa akibat hukum dari tidak diberikannya SPDP dalam jangka waktu 7 hari adalah penyidikan dan "due process of law" cacat hukum formiil dan mengakibatkan penetapan Tersangka tidak Sah. Itu Dosen Universitas Bhayangkara Jaya yang berbicara,” tegasnya. 


"Bhayangkara" itu polisi toh, ketika dosen polisi sudah bilang salah, kenapa oknum anggota Polri masih ngotot? Apa mungkin para polisi ketika kuliah hukum mereka sedang lelah atau kecapean karena nangkap begal payudara sehingga mereka berfantasi dan ciptakan ilmu hukum sendiri, jurus hukum pidana ‘semau gue’?" lanjutnya.


Sempat terjadi pembicaraan sengit dan suasana memanas ketika pihak Bidkum Polda menyinggung Ahli Pidana Univ Bhayangkara ketika Ahli melihat kertas, dan DR Dwi Seno, dengan kata keras dan tegas menghardik AKBP Bidkum. “Tolong hargai profesi saya selaku dosen, saya jawab Normatif sesuai keahlian saya,” tegas Dwi Seno. 


Ditengahi oleh Hakim, "Termohon bisa tanggapi dikesimpulan apabila keberatan atas ahli pidana." 


Kabid Humas LQ Indonesia Lawfirm, Sugi menyayangkan kualitas oknum POLRI yang memaksakan kehendak, bahkan terang-terangan menjawab jika melanggar KUHAP tidak masalah selama tidak ada sanksi. 


“Masa POLRI Presisi berkeadilan bicara seperti itu? Untung Terlapor hubungi LQ Indonesia Lawfirm di 0817-489-0999, jika tidak, mungkin sudah harus bayar uang damai untuk ketiga kali. Oknum POLRI sering kali gunakan ketidakpahaman masyarakat akan hukum dan mengunakan hukum sebagai alat memeras,” katanya dalam rilis LQ Indonesia Lawfirm (23/12/2021) .


Redaksi/Tiem