Deoxa Indonesian Channels

lisensi

Advertisement MGID

 


 





 


Selasa, 26 April 2022, 12:44:00 AM WIB
Last Updated 2022-04-25T20:54:36Z
Berita budayaNEWS

MENGAGAS UPAYA HUKUM GUGATAN PERBUATAN MELAWAN HUKUM OLEH PENGUASA MELALUI MEKANISME GUGATAN CLAS ACTION DALAM MENYELESAIKAN PROBLEM DI SITUS BENTENG KRATON KARTOSURO

Advertisement


#Part.2

Oleh : *Sofyan Mohammad***

MATALENSANEWS.com-Polemik tentang pembobolan tembok benteng Kraton Kartosuro masih berlangsung di sosial media. Publik luas merasa gerah dengan insiden pembobolan itu. Tindakan Bhd (45) yang mengaku sebagai pemilik tanah secara gegabah telah merobohkan tembok tembok tersebut dengan menggunakan alat berat. Kejadian tersebut sangat disayangkan oleh semua kalangan. Alibi dan argumen yang disampaikan oleh pelaku pengrusakan tersebut dianggap tidak masuk akal. 


Dalih pelaku yang menyatakan tidak tahu jika tembok tersebut adalah situs cagar budaya, dianggap dalil yang mengada ada sebab dibeberapa sudut tembok itu telah terpampang tulisan sangat jelas yang menyebutkan kawasan tersebut adalah kawasan cagar budaya yang dilindungi UU. Berbagai cibiran menyasar pada pelaku hingga otoritas pemerintah daerah atau dinas terkait karena bisa bisanya kecolongan. 


Pembobolan sudah terjadi dan tembok Kraton Kartosuro sudah terlanjur roboh. Sehingga tidak mungkin dapat disusun kembali sebagaimana sediakala. Kejadian ini menjadi tamparan keras bagi semua pihak khusunya pemerintah selaku garda terdepan yang memiliki tanggung jawab untuk menyelamatkan situs warisan budaya. 


Tembok tersebut menurut sejarahnya adalah tembok benteng Kraton Kartusuro yang sampai saat ini sudah berusia lebih dari 340 tahun. Menurut babad tanah Jawi setelah Keraton Plered hancur karena pemberontakan Trunajaya, diadakan rapat pemilihan lokasi keraton yang baru oleh tokoh-tokoh kerajaan, kemudian menetapkan tiga tempat yang dianggap tepat untuk membangun kraton yang baru. Lokasi yang diusulkan waktu itu adalah Wanakerta, Logender, dan Tingkir. Ketiga lokasi ini memang dianggap sebagai tempat layak untuk didirikan kerajaan.


Mengutip Wikipedia yang bersumber dari babad tanah Jawi menyebutkan setelah pemilihan ibu kota, keraton di daerah Wanakerta dibangun dengan waktu tujuh bulan lamanya. Di sekeliling keraton dibangun benteng yang kokoh. Kerajaan ini terdiri dari bangunan yang kokoh. Pada 1682, bangunan keraton telah jadi seutuhnya dan mulai ditempati oleh Sunan Amangkurat II.


Saat Sunan Amangkurat pertama kali masuk ke istana barunya itu, nama “Wanakerta” kemudian diubah menjadi “Kartasura Hadiningrat”. Di sebelah selatan kompleks istana itu ada alun-alun. Sementara itu untuk memperkuat keamanan, bagian depan benteng dilapisi semak berduri dan parit berair.


Berdasarkan hal tersebut diatas maka bobolnya tembok benteng bekas Kraton Kartosuro akibat perbuatan pelaku dengan menggunakan eskavator jelas tidak mungkin dapat mengembalikan dalam kondisi utuh sebagaimana mestinya. Batu bata maupun bahan bangunan lainnya sudah berusia lebih dari 340 tahun sehingga dizaman sekarang sudah tidak mungkin ada bahan yang serupa. Selain itu yang paling pokok adalah tembok tersebut adalah saksi sejarah masa lalu yang juga merupakan warisan budaya, yang tidak bisa tergantikan dengan apappun juga. 


Tindakan pelaku pengrusakan tidak bisa dimaafkan dalam sudut hukum maupun budaya sebab dalam perspektif hukum jelas tindakan tersebut merupakan pelanggaran hukum. Dalam perspektif budaya maka tindakan tersebut adalah tindakan yang "dhek suro" - "keladuk"- "su'ul adab" dan kurang ajar karena dengan kecongkaanya telah merusak saksi sejarah dan warisan budaya, sehingga tindakan tersebut dipandang telah menginjak injak harkat dan martabat martabat warisan budaya nusantara 


Terkait dengan situs cagar budaya, melansir dari http://cagarbudaya.go.id menyebutkan Benda Cagar Budaya adalah benda alam dan/atau benda buatan manusia, baik bergerak maupun tidak bergerak, berupa kesatuan atau kelompok, atau bagian-bagiannya, atau sisa-sisanya yang memiliki hubungan erat dengan kebudayaan dan sejarah perkembangan manusia. Bangunan Cagar Budaya adalah susunan binaan yang terbuat dari benda alam atau benda buatan manusia untuk memenuhi kebutuhan ruang berdinding dan/atau tidak berdinding, dan beratap. Sedangkan Situs Cagar Budaya adalah lokasi yang berada di darat dan/atau di air yang mengandung Benda Cagar Budaya.


Benda cagar budaya perlu dilindungi dan dilestarikan demi pemupukan kesadaran jati diri dan kepentingan nasional. Oleh karena itu, untuk menjaga kelestarian benda cagar budaya diperlukan langkah pengaturan, yaitu dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya. 


Tujuan Pemerintah mengeluarkan UU adalah untuk melestarikan Cagar Budaya dan membuat Negara serta-merta bertanggung jawab dalam hal perlindungan, pengembangan, dan pemanfaatan Cagar Budaya.  Dengan diaturnya hal ini di dalam peraturan perundang-undangan yang memiliki daya ikat yang kuat, diharapkan keseimbangan aspek ideologis, akademis, ekologis, dan ekonomis dapat tercipta, guna meningkatkan kesejahteraan rakyat di sekitar Cagar Budaya.


Terkait dengan fakta ternyata didalam kawasan cagar budaya benteng Kraton Kartosuro telah terbit Serrtipikat Hal Milik maka diatur dalam UU No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya tentang pemilikan dan penguasaan. Dalam 

Pasal 12 menyebutkan :

(1) Setiap orang dapat memiliki dan/atau menguasai Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, Struktur Cagar Budaya, dan/atau Situs Cagar Budaya dengan tetap memperhatikan fungsi 

sosialnya sepanjang tidak bertentangan dengan 

ketentuan Undang-Undang ini. 

(2) Setiap orang dapat memiliki dan/atau menguasai Cagar Budaya apabila jumlah dan jenis Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, Struktur Cagar Budaya, dan/atau Situs Cagar Budaya 

tersebut telah memenuhi kebutuhan negara. 

(3) Kepemilikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dapat diperoleh melalui pewarisan, hibah, tukar-menukar, hadiah, pembelian, dan/atau putusan atau penetapan pengadilan kecuali yang dikuasai oleh Negara. 

(4) Pemilik Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar 

Budaya, Struktur Cagar Budaya, dan/atau Situs Cagar Budaya yang tidak ada ahli warisnya atau tidak menyerahkannya kepada orang lain berdasarkan wasiat, hibah, atau hadiah setelah pemiliknya meninggal, kepemilikannya diambil alih oleh negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang - undangan. 

Pasal 13 

Kawasan Cagar Budaya hanya dapat dimiliki dan/atau dikuasai oleh Negara, kecuali yang secara turun - temurun dimiliki oleh masyarakat hukum adat.


Berdasarkan fakta Bhd (45) yang mengklaim memiliki sertipikat diatas tanah kawasan cagar budaya Kraton Kartosuro maka hal yang perlu diperhatikan adalah :

1. Bagaimana riwayat asal usul perolehan hal tersebut

2. Bagaimana proses administratif yang ditempuh untuk mendapatkan hal tersebut

3. Bagaimana proses administratif yang telah dilakukan oleh Pejabat Tata Usaha Negara (PTUN) dalam hal ini BPN/ATR Kab. Sukoharjo di dalam merespon/ mengeluarkan kebijakan Terkait dengan permohonan hak oleh pemohon yang mengaku sebagai pemilik tanah. 

4. Bagaimana proses tehnis yang dilakukan juru ukur petugas BPN/ATR Kab. Sukoharjo di dalam menerbitkan peta dalam Surat Ukur/Gambar Situasi yang dituangkan dalam Sertipikat atas nama Pemohon. 

5. Bagaimana sistem administratif yang dilakukan oleh pemerintah setempat (Kepala Desa, Camat, DPKAD Kab. Sukoharjo) didalam menerbitkan Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang (SPPT) atas nama pemilik atau pihak yang menguasai. 

6. Bagaimana sistem administrasi yang menyangkut kebijakan tentang pemanfaatan lahan didalam Tembok Benteng yang merupakan situs Cagar budaya, apakah pemanfaatan tersebut sesuai dengan fungsi dan peruntukan atau tidak. 


Pokok pokok investigasi tersebut sangat dianggap perlu untuk diperoleh jawaban berdasarkan data dan fakta. Hal ini sangat penting ditempuh guna menentukan mekanisme penyelesaian perkara berdasarkan hukum yang berbasis pada keadilan dan kepastian hukum. 


Melansir dari berbagai sumber informasi jika didalam tembok benteng Kraton Kartosuro tersebut saat ini telah terbit beberapa Sertipikat Hak Milik (SHM) yang bersifat pererorangan. Jika fakta ini benar tentu dikemudian hari akan menimbulkan banyak sengketa hukum yang komplek antara pemegang SHM dengan Balai Pelestarian Cagar Budaya atau dengan kelompok masyarakat atau badan hukum yang memiliki kepentingan dengan situs Kraton Kartosuro. 


Jika hal itu benar terjadi yaitu didalam benteng Kraton Kartosuro telah terbit SHM bersifat perorangan maka yang paling kompeten menjawab pertanyaan tersebut adalah Kantor Pertanahan/ATR Kab. Sukoharjo, aparatur pemerintah mulai dari Kades, Camat hingga Dinas terkait.


Berdasarkan ketentuan dalam UU No. 14 tahun 2008, tentang Keterbukaan Informasi Publik dan UU No. 14 Tahun 2014 tentang Administrasi pemerintahan maka sudah selayaknya pihak Pejabat Tata Usaha Negara tersebut diatas membeberkan informasi secara terbuka dan transparan atas apa yang sebenarnya terjadi di dalam benteng Kraton Kartosuro. 


Jika informasi benar didalam benteng Kraton Kartosuro telah terbit SHM bersifat perorangan dan penggunaanya tidak sesuai dengan fungsi dan peruntukannya maka memiliki tiga (3) implikasi hukum yaitu :


1. *DALAM MEKANISME HUKUM PIDANA*

tindakan sebagaimana dimaksud telah melanggar ketentuan dalam pasal 101 UU No. 11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya yang berbunyi "Setiap orang yang tanpa izin mengalihkan kepemilikan Cagar Budaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) bulan dan paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp. 400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah). 


Dalam UU tersebut mekanisme penyidikan yang menyangkut dugaan tindak pidana berdasarkan ketentuan pasal 100 menyebutkan :

(1) Penyidik Pegawai Negeri Sipil merupakan pejabat pegawai negeri sipil yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang pelestarian Cagar Budaya yang diberi wewenang khusus melakukan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Undang -

Undang tentang Hukum Acara Pidana terhadap tindak pidana Cagar Budaya. 

(2) Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) 

berwenang: 

a. Menerima Iaporan atau pengaduan dari seorang 

tentang adanya tindak pidana Cagar Budaya;.

b. Melakukan tindakan pertama di tempat kejadian 

perkara, menyuruh berhenti seorang tersangka dan 

memeriksa tanda pengenal diri tersangka.

d. Melakukan penggeledahan dan penyitaan.

e. Melakukan pemeriksaan dan penyitaan terhadap barang bukti tindak pidana Cagar Budaya. 

f. Mengambil sidik jari dan memotret seorang. 

g. Memanggil dan memeriksa tersangka dan/atau saksi.

h. Mendatangkan seorang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara. 

i. Membuat dan menandatangi berita acara dan 

j. Mengadakan penghentian penyidikan apabila tidak terdapat cukup bukti tentang adanya tindak pidana di bidang Cagar Budaya. 

(3) Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1)dalam pelaksanaan tugasnya berada di bawah koordinasi dan pengawasan penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia.


2. *DALAM MEKANISME HUKUM ADMINISTRASI NEGARA*

Bahwa, sertipikat merupakan produk Tata Usaha Negara karena bersifat konkrit, final, mengikat dan ditujukan kepada individual. Untuk itu berdasarkan ketentuan dalam Undang-undang Nomor 51 tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara maka sertipikat - sertipkat yang terbit diatas tanah dalam benteng Kraton Kartosuro tersebut dapat dilakukan pembatalan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) yang memiliki kewenangan untuk memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa di bidang tata usaha negara dan memeriksa obyek sengketa yaitu keputusan tata usaha negara berdasarkan ketentuan dalam UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan jo UU . 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas UU No 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. 


3. *MEKANISME HUKUM PERDATA*

Apabila kemudian diketahui benar tanah didalam benteng Kraton Kartosuro telah terbit beberapa SHM bersifat perorangan dan diketahui pula penggunaanya tidak sesuai dengan fungsi dan peruntukannya yang bertentangan dengan segala peraturan perundang - undangan undangan yang berlakaku. Dalam perspektif hukum perdata dipandang telah memenuhi segala unsur Perbuatan Melawan Hukum *(ONRECHTMATIGE DAAD)*, sebagaimana diatur dalam Pasal 1365 KUH Perdata, yaitu "tiap perbuatan yang melanggar hukum dan membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian itu karena kesalahannya untuk menggantikan kerugian tersebut".


Bahwa dalam UU No. 11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya Pasal 56 menyebutkan "Setiap orang dapat berperan serta melakukan Pelindungan Cagar Budaya". 

Pasal 57 berbunyi

  Setiap orang berhak melakukan Penyelamatan Cagar Budaya yang dimiliki atau yang dikuasainya dalam keadaan darurat atau yang memaksa untuk dilakukan 

tindakan penyelamatan. 

Pasal 58 

(1) Penyelamatan Cagar Budaya dilakukan untuk : 

a. Mencegah kerusakan karena faktor manusia dan/atau alam yang mengakibatkan berubahnya 

keaslian dan nilai-nilai yang menyertainya dan 

b. Mencegah pemindahan dan beralihnya pemilikan dan/atau penguasaan Cagar Budaya yang bertentangan dengan ketentuan peraturan 

perundang-undangan. 

(2) Penyelamatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan dalam keadaan darurat dan 

keadaan biasa. 

Pasal 59 

(1) Cagar Budaya yang terancam rusak, hancur, atau musnah dapat dipindahkan ke tempat lain yang aman. 

(2) Pemindahan Cagar Budaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan tata cara yang menjamin keutuhan dan keselamatannya di bawah koodinasi Tenaga Ahli Pelestarian. 

(3) Pemerintah, Pemerintah Daerah, atau setiap orang yang melakukan Penyelamatan wajib menjaga dan merawat Cagar Budaya dari pencurian, pelapukan atau kerusakan baru.


Berdasarkan amanah UU No. 11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya sebagaimana tersebut diatas maka dalam mekanisme hukum Administratif, subyek hukum yang bersifat perorangan atau badan hukum yang memiliki kepentingan langsung dan merasa dirugikan atas terbitnya beberapa SHM atas tanah didalam benteng Kraton Kartosuro yang dapat dibuktikan memiliki legal standing (kedudukan hukum) maka dapat mengajukan gugatan pembatalan sertipikat dimaksud di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Semarang dengan pihak *KEPALA KANTOR PERTANAHAN/ ATR Kabupaten Sukoharko* sebagai *Tergugat* dan dalam proses selanjutnya setiap nama selaku pemegang SHM yang di mohonkan batal tersebut dapat berkedudukan sebagai *Tergugat II Intervensi*. 


Berdasarkan amanah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 itu, pemerintah mempunyai kewajiban melaksanakan kebijakan untuk memajukan kebudayaan secara utuh untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Sehubungan dengan itu, seluruh hasil karya bangsa Indonesia, baik pada masa lalu, masa kini, maupun yang akan datang, perlu dimanfaatkan sebagai modal pembangunan. Sebagai karya warisan budaya masa lalu, Cagar Budaya menjadi penting perannya untuk dipertahankan keberadaannya. Terkait dengan ini maka Pemerintah RI, Cq Pemerintah Daerah tingkat Propinsi maupun Pemerintah Kabupaten Sukoharjo nampaknya juga harus bertanggung jawab atas insiden dibobolnya tembok benteng Kartosuro dan dugaan diatas tanah dalam benteng Kraton Kartosuro telah terbit beberapa SHM yang bersifat perorangan. 


*KONTRUKSI MEKANISME HUKUM PERBUATAN MELAWAN HUKUM OLEH PENGUASA (Onrechtmatige Overheidsdaad)*. 


Terkait dengan hal tersebut maka patut dipertimbangkan upaya hukum untuk menyelesaikan persoalan hukum diatas dalam mekanisme Hukum perdata yaitu dengan materi dan kontruksi Perbuatan Mekawan Hukum Oleh Penguasa (Onrechtmatige Overheidsdaad). 


Perbuatan Melawan Hukum oleh Penguasa juga diatur dalam ketentuan atau dasar hukum yang sama, yaitu dalam oasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek).


Perbedaan antara PMH dengan PMH oleh penguasa hanya terletak pada subjeknya, yaitu apabila dalam PMH biasa, subjeknya adalah perorangan atau badan hukum, sedangkan, PMH oleh penguasa harus dilakukan oleh penguasa. 


Pengertian penguasa tidak hanya meliputi instansi - instansi resmi yang berada dalam lingkungan eksekutif di bawan Presiden akan tetapi termasuk juga Badan/Pejabat lain yang melaksanakan urusan pemerintahan.Peraturan perundang-undangan tidak mengatur secara spesifik kebijakan atau PMH oleh penguasa apa saja yang bisa digugat ke peradilan umum (Pengadilan Negeri). Namun perlu Anda ketahui, selain di peradilan umum, PMH oleh penguasa bisa juga digugat ke PTUN.


Bahwa, materi dan kontruksi hukum sebagaimana tersebut diatas juga perlu dipertimbangkan pula alternatif mekanisme hukum sebagai berikut :


1. *GUGATAN CLAS ACTION*

Gugatan Class Action sering disebut disebut dengan gugatan perwkilan kelompok yang diatur secara formil pada tahun 2002 dalam bentuk Peraturan Mahkamah Agung (PERMA)  RI No. 1 Tahun 2002 pada tanggal 26 April 2002. PERMA tersebut mengatur tentang Gugatan yang diajukan secara kelompok salah satunya adalah class action. 


Pengertian class action berdasarkan PERMA RI Nomor 1 Tahun 2002 adalah suatu cara pengajuan gugatan dalam mana satu orang atau lebih yang mewakili kelompok mengajukan gugatan untuk diri sendiri atau diri-diri mereka sendiri dan sekaligus mewakili sekelompok orang yang jumlahnya. 


Banyak, yang memiliki kesamaan fakta atau dasar hukum antara wakil kelompok dan anggota kelompok dimaksud. Gugatan class action menjadi salah satu bentuk gugatan yang mengatas namakan kepentingan umum. Hal ini merupakan solusi efisien karena dalam pengajuan gugatan dengan anggota kelas yang banyak tidak perlu menyebutkan identitas pihak satu per satu. 


2. *GUGATAN LEGAL STANDING* 

Istilah gugatan legal standing pada umumnya digunakan untuk merujuk pada hak gugat (legal standing) organisasi yang sering digunakan dalam penyelesaian perkara sebagaimana terkandung di antaranya dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (“UU 32/2009”) dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (“UU Perlindungan Konsumen”), namun mencermati ketentuan dalam UU No. 11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya maka mekanisme Gugatan Legal Standing juga dapat dipertimbangkan untuk dapat ditempuh dalam upaya menyelesaikan problem bobolnya tembok benteng Kraton Kartosuro dan dugaan terbitnya beberapa SHM diatas tanah didalam benteng Kraton Kartosuro.


-----------------------------------------------------------------

Pokok pokok pemikiran yang menyoal tentang ikhtiar menyelesaikan polemik dan problem hukum yang sedang terjadi terkait dengan insiden dibongkarnya Tembok Benteng Kraton Kartosuro dan dugaan telah terbit beberapa Sertipikat Hak Milik (SHM) yang bersifat perorangan atas tanah didalam tembok Benteng Kraton Kartosuro tersebut diatas muncul dalam diskusi mendalam yang diprakarsai oleh Dr. Kanjeng Pangeran Haryo (KPH) Eddy Wirabhumi, SH dari *Lembaga Dewan Adat (LDA) Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat* dan Bapak Ahmad Faruk, M.Fil.I pada hari Senin (25/02/2022) via piranti Zoom Meeting. 


Pokok pokok pemikiran tersebut adalah alternatif mekanisme dalam instrumen hukum untuk dapat menyelesaikan problem dibobolnya Tembok Benteng Kraton Kartosuro dan dugaan telah terbit beberapa Sertipikat Hak Milik (SHM) yang bersifat perorangan atas tanah didalam tembok Benteng Kraton Kartosuro. Alternatif mekanisme hukum ini diorientasikan pada penyelesaian yang berdasarkan hukum yang berlaku di Indonesia dengan basis orientasi keadilan dan kepastian hukum. 


*Semoga bermanfaat*. 

25/04/22

------------------------------------------------------------------------------

* Artikel ditulis berdasarkan diskusi yang diprakarsai oleh *Dr. Kanjeng Pangeran Haryo (KPH) Eddy Wirabhumi, SH* dari Lembaga Dewan Adat (LDA) Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat dan Bapak *KH. Ahmad Faruk, M.Fil.I*  akademisi Fakultas Ushuludin, Adab dan Dakwah IAIN Ponorogo, pada hari Senin (25/02/2022) via piranti Zoom Meeting dan bersumber pada :

1. Undang-undang (UU) No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya.

2. Undang-undang (UU) No. 30 Tahun 2014. tentang Administrasi Pemerintahan 

3. Undang-undang (UU) No. 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.

4. Undang-Undang No. 14 tahun 2008, tentang Keterbukaan Informasi Publik. 

5. KUHPerdata Staatsblaad nomor 23 tahun 1847 tentang burgerlijk wetboek voor Indonesie (BW)

6. Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2002 (PERMA 1/2002) tanggal 26 April 2002.

7.http://cagarbudaya.kemdikbud.go.id

8. Wikipedia


** Penulis adalah Advokat Ketua Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) DPC Ungaran.