Deoxa Indonesian Channels

lisensi

Advertisement MGID

 



Rabu, 13 April 2022, 3:04:00 PM WIB
Last Updated 2022-04-13T08:04:17Z
NEWSSejarah dan Budaya

PERKEMBANGAN SASTRA JAWA DALAM LENSKAP PERADABAN JAWA DARI MASA KE MASA (Sebuah catatan singkat tentang periodesasi Sastra Jawa)

Advertisement


Oleh : Sofyan Mohammad


MATALENSANEWS.com

"Mangkya darajating praja

kawuryan wus sunya-ruri

rurah pangrehing ukara

karana tanpa palupi.

Ponang parameng-kawi

kawileting tyas malatkung

kongas kasudranira

tidhem tandhaning dumadi.

Hardayengrat dening karoban rubeda"***


-----------------------------------------------------------------------------------

Sastra Jawa adalah bagian kecil dari hasil budaya Jawa, namun demikian karya sastra adalah potret peradaban karena telah mampu merekam keadaan sosial budaya masyarakat. Karya sastra dipakai sebagai materi yang penting untuk mengungkap suatu budaya lampau yang telah kehilangan jejak. Budaya Jawa yang pada sejarahnya telah terpengaruh oleh budaya - budaya besar dari luar, hal tersebut tampak dalam bentuk karya sastra Jawa. 


Budaya manusia dikomunikasikan antar manusia melalui bahasa. Bahasa Jawa, dalam sejarahnya telah mendapat pengaruh dari bahasa bangsa -bangsa yang lain, yakni bahasa Sansekerta, Arab dan bahasa dari bangsa-bangsa di Eropa. Bahasa Jawa, dalam sejarahnya tercatat melalui bahasa yang dikenal sebagai bahasa jawa kuna, bahasa jawa pertengahan dan bahasa jawa baru hingga saat ini. Perkembangan bahasa Jawa dari periode ke periode berikutnya selalu meninggalkan warisan sastra dengan memiliki ciri - cirinya yang berbeda beda.

 

Budaya Jawa semula diwarnai oleh budaya animisme dan dinamisme yang dapat terlihat dari jejaknya pada berbagai bentuk sastra lisan, seperti bentuk perapalan doa -doa yang disampaikan dalam rangka penyampaian sesaji kepada "sing mbaureksa" yang diyakini bersemayan pada tempat-tempat tertentu seperti pada kayu besar, batu keramat, goa-goa, dll, hal ini merupakan hasil budaya animisme dan dinamisme. Perapalan doa-doa itu tersebut memiliki nilai estetis sebagai karya sastra. Perapalan mantera yang hingga saat ini masih sering diamalkan oleh guru atau dukun-dukun yang mengajarkan ilmu (ngelmu) adalah bentuk dari prelogic. Perapalan mantera memiliki nilai keindahan yang dapat dikategorikan sebagai hasil sastra.


Masuknya Agama Hindu dan Budha ditanah Jawa juga menawarkan sejumlah kebudayaan yang akhirnya diterima oleh masyarakat Jawa. Berbagai cerita yang semula dianggap sebagai cerita suci oleh masyarakat Hindu - Budha, akhirnya dapat diterima sebagai mite atau legenda milik orang Jawa (setelah melalui penyesuaian). Cerita wayang purwa yang bersumber pada kitab suci Hindu, Mahabharata dan Ramayana telah disalin, diterjemahkan, disadur atau bahkan digabungkan kemudian disesuaikan dengan berbagai mitos dan situasi di Jawa, akhirnya menjadi cerita kepahlawanan yang dianggap sebagai cerita leluhur Jawa. 


Dalam sastra wayang maka aspek budaya yang berasal dari India sebagian besar diubah dan disesuaikan dengan nilai-nilai budaya yang ada di Jawa. Sebagai contoh konsep budaya poliandri yang terjadi pada perkawinan Drupadi dengan kelima para Pandawa, yang ada dalam Mahabharata India, telah diubah menjadi konsep monogami, yakni perkawinan Drupadi dengan Puntadewa. Perubahan ini tampak disengaja dengan segala konsekwensi, berikutnya juga diadakan perubahan-perubahan, misalnya nama 

Pancawala pada sastra wayang Jawa yang merupakan nama seorang anak dari Puntadewa, 

semula merupakan penyebutan dari lima anak dari para Pandawa yang beribu satu yakni Drupadi. 


Dalam Serat Pustska Raja karya R.Ng. Ranggawarsita, menyebutkan para raja di Jawa dituliskan sebagai keturunan Pandu Raja di Astina dalam cerita pewayangan. Dari contoh cerita di atas menjadi jelaslah bahwa pengkajian sejarah sastra wayang di Jawa dapat menyingkap banyak hal tentang budaya Jawa.


Pada akhir masa kejayaan kerajaan Majapahit, yakni sekitar abad ke-14 pengaruh agama Islam di Jawa tampak dominan karena didukung oleh kekuasaan kerajaan Demak. Pengaruh agama dan kebudayaan Islam sangat kuat mewarnai berbagai hasil karya sastra Jawa, terutama karya-karya sastra Pesisiran dan karya sastra yang dianggap sebagai sastra mistik Islam - kejawen.Sastra mistik Islam-kejawen ini paling dominan tampak pada bentuk-bentuk sastra mistik yang disebut sastra suluk atau wirid. Sesungguhnya yang disebut Islam-kejawen ini tidak lain adalah budaya Jawa yang telah diwarnai oleh akumulasi pengaruh dari budaya Jawa sebelum Islam dan setelah Islam masuk. Dengan demikian sastra mistik Islam - kejawen adalah karya sastra yang berisi tentang mistik yang bukan saja Islam, namun yang telah didahului oleh pengaruh budaya lain yang telah ada di Jawa sebelum Islam masuk.


Pada era setelah Islam masuk di Jawa, berbagai karya sastra yang ada di Jawa  sedikit banyak telah dipengaruhi oleh berbagai kebudayaan yang masuk ke Jawa. Dengan demikian telah terjadi akulturasi budaya antara kebudayaan animisme-dinamisme, Hindu, Budha dan Islam. Karya sastra seperti sastra wayang (purwa) yang semula berasal dari budaya Hindu perlahan telah dipengaruhi oleh budaya Islam. Bahkan dalam sejarah perkembangan sastra lisan, banyak yang meyakini bahwa para wali penyebar agama Islam mempergunakan budaya wayang purwa sebagai salah satu sarana dakwah.


Pada masa awal masuknya agama Islam, bahasa yang berlaku di Jawa dikenal dengan istilah bahasa Jawa kuna (bahasa Jawa kuna dan Jawa pertengahan). Dalam sejarah sastra Jawa kuna tercatat adanya pengaruh bahasa Sansekerta, yakni bahasa dari India sebelum abad ke-10, yang merupakan pengantar kitab-kitab suci agama Hindu dan Budha. Karya-karya sastra jawa kuna telah banyak dikaji oleh para pakar bahasa jawa kuna, baik dalam rangka sastra itu sendiri, maupun dalam kaitannya dengan budaya Jawa secara luas. Pembicaraan tentang karya sastra Jawa Kuna antara lain terdapat dalam buku karya P.J. Zoetmulder yang berjudul Kalangwan, karya Poerbatjaraka berjudul Kepustakaan Jawa atau Kapustakan Jawi dan sebagainya.


Perkembangan selanjutnya adalah pengaruh budaya eropa pada abad ke 17 setelah hadirnya kongsi dagang Belanda (VOC). Pengaruh budaya Barat tidak begitu terasa dalam karya-karya sastra. Hal ini mungkin disebabkan penekanan budaya Barat yang bersifat profan. Pengaruh budaya eropa itu lebih tampak pada pola hidup keseharian. Namun demikian bukan berarti tidak terjadi proses pengaruh itu pada karya sastra. Belakangan ini pengaruh budaya yang terjadi secara halus melalui konsep-konsep budaya politik dan budaya hidup 

keseharian itu dikenal dengan istilah hegemoni. Konsep politik yang disebut modernisasi dan demokratisasi, di samping berpengaruh pada terbentuknya dan berkembangnya negara 

RI, juga berpengaruh pada keberterimaan masyarakat Jawa pada karya-karya sastra yang bukan istana-sentris, tetapi yang berisi realita kehidupan sehari-hari. 


Sejak awal abad ke-20, bentuk-bentuk sastra yang dikenal sebagai sastra Jawa modern seperti roman Jawa modern, novel Jawa modern, dan cerita pendek Jawa (cerkak), merupakan bukti 

keberterimaan masyarakat Jawa pada pengaruh unsur-unsur dari Barat itu. Hingga saat ini pergulatan budaya yang dikenal dengan istilah globalisasi sedikit banyak terekam dalam 

berbagai hasil karya sastra Jawa yang tampak pada segi isinya, bahasanya dan bentuk gubahannya. Di samping itu ciri-ciri sastra melekat pada genre tertentu atau pada konvensi tertentu. 


Sejarah sastra Jawa pernah ditulis oleh beberapa pakar pemerhati sastra Jawa, antara lain oleh Berg (1928), Hooykaas (1932), Gonda (1947), Poerbatjaraka (1952), Pigeud (1967), Zoetmulder (1974 atau 1983), dan J.J. Ras (1979 atau 1985) (Darusuprapta, 1986: 1-2). 


Periodisasi sastra menurut Padmosoekotjo (1960).

Poerbatjaraka, misalnya, dalam bukunya Kapustakan Djawi (1952) membagi 

periodisasi sastra Jawa sebagai berikut.

1. Serat-serat Jawi Kina ingkang golongan sepuh. Hasil karya sastranya antara lain Candakarana berisi daftar tembang dan kosa kata, Ramayana, dan Parwa-parwa.

2. Serat-serat Jawi Kina ingkang mawi sekar (kakawin). Dalam bagian ini dibicarakan nama raja yang disebutkan, hubungan antar-teks, pertanggalan, dan gaya bahasa. Yang meliputi 10 kakawin dari Arjunawiwaha hingga Lubdhaka.

3. Serat-serat Jawi kina ingkang golongan enem. Membicarakan 10 kakawin, ciri dasar penggolongannya, dan terdapatnya sumber - sumber yang lebih tua. Kakawin itu antara lain Brahmandhapurana, Kunjarakarna, Nagarakertagama hingga Harisraya.

4. Thukulipun Basa Jawi Tengahan. Bagian ini membicarakan 5 kitab berbahasa  Jawa Tengahan prosa dari Tantu Panggelaran hingga Pararaton .

5. Kidung Basa Jawi Tengahan. Membicarakan 5 syair berbahasa Jawa Tengahan yakni Dewa Ruci, Sudamala, Kidung Subrata, Serat Panji Anggreni dan Serat  Sritanjung

6. Jaman Islam. Membicarakan tentang runtuhnya majapahit dan berkembangnya Islam hingga munculnya karya-karya sastra yang bernafaskan Islam. Disebutkan ada 14 contoh antara lain Het Book van Bonang, Suluk Sukarsa, Koja Jajahan, Suluk Wujil hingga Serat Kandha.

7. Jaman Surakarta Awal. Kepustakaan jaman ini dibagi dua, yakni pertama, jaman pembangunan yakni ketika kitab-kitab kuna digubah lagi dengan tembang macapat. Contohnya Wiwaha Jarwa oleh Pakubuwana III (1749-1788 ). Kedua, jaman penciptaan karya sastra baru dengan pujangga  -pujangga seperti Yasadipura I dan II, Pakubuwana IV, Ranggawarsita.


Padmosoekotjo dalam bukunya Ngengrengan Kasusastran jawa, jilid II (1960) memuat 

periodisasi sebagai berikut.

1. Jaman Hindu, antara lain Mahabarata karya Resi Wiyasa, Ramayana karya Walmiki, 9 parwa dari Mahabarata oleh Prabu Darmawangsa Teguh, 

Arjunawiwaha oleh Empu kanwa, Kresnayana oleh Empu Triguna, Sumana Santaka oleh Empu Monaguna, Baratayudha oleh Empu Sedah, Gatotkacasraya dan Hariwangsa oleh Empu Panuluh, Smaradahana oleh Empu Darmaja, Wertasancaya dan Lubdaka oleh Tan Akung

2. Jaman Majapahit, Nagarakertagama oleh Empu Prapanca, Arjunawijaya dan Sutasoma ( Purusadasanta) oleh Empu Tantular 

3. Jaman Islam (Demak dan Pajang): Suluk Wujil oleh Sunan Bonang, Suluk Malangsumirang oleh Sunan Panggung, Nitisruti oleh Pangeran Karanggayam.

4. Jaman Mataram, Nitipraja dan Sastragendhing oleh Sultan Agung, Babad Pajajaran, babad Majapahit, Babad Pajang, Babad Mataram oleh Pangeran Adilangu, Damarwulan oleh Carik Bajra, Pranacitra dan Dewi Rengganis oleh Ranggajanur, Wulang Reh dan Wulang Sunu oleh Pakubuwana IV, SeratCenthini oleh Pakubuwana V, Cebolek, Babad Pakepung, Babad Giyanti, SeratLokapala, dsb., oleh Yasadipura I, Sasanasunu dan Wicarakeras oleh 

Yasadipura II, Arjunasasrabahu, Partayagnya, Srikandhi Maguru manah, Sumbadra Larung oleh R. Ng. Sindusastra, Wedhatama, Buratwangi, Tripama dsb., oleh Mangkunegara IV, Jayengbaya, Hidayatjati, Jayabaya, Pustakarajapurwa, Kalatidha, Witaradya, dsb., oleh Ranggawarsita, Jagal 

Bilawa, Serat Bale Sigala - gala, Kartapiyoga, Jaladara Rabi, Serat Sastramiruda, dsb., oleh P. Kusumadilaga. 

5. Jaman sekarang (mulai abad ke-20). Dimulai dari Rangsang Tuban, dsb., karyaKi Padmasusastra, Trilaksita dsb., karya M.Ng. Mangunwijaya, Sawursari karya R.Ng. Sindupranata, Dongeng Kuna karya R.ng. Sastrakusuma, Baru Klinthing karya R.T. Tandhanagara, Kekesahan saking Tanah Jawi dhateng Negari Welandi oleh R.M. Suryasuparta (Mangkunegara VII), hingga Riyanta dan Sarwanta karya R.M Sulardi, Candrasengkala karya R. Bratakesawa, Calonarang karya Wiradat, Abimanyu Kerem karya M.Sukir, Bancak Doyok Mbarang Jantur karya Sastrasutarma, dan Buta Locaya karya Mas Somasentika.


Periodesasi sastra Jawa menurut Theodore G. Th. Pigeaud dalam bukunya Literature of Java (Volume I: “Synopsis of Javanese Literature, 900-1900 A.D.”) membagi sastra Jawa menjadi empat periode, yaitu :

1. Periode Pra-Islam, selama enam abad (tahun 900- 1500 ), terutama di Jawa Timur, sampai merosotnya kerajaan Majapahit

2. Periode Jawa-Bali, selama empat abad (tahun 1500-1900)

3. Periode Pesisir Jawa Utara, selama tiga abad (tahun 1500-1800)

4. Periode Renaisance sastra klasik (tahun 1700-1900) di Surakarta dan Yogyakarta.


Sedangkan menurutDarusuprapta dalam bukunya "Periodesasi Sastra Jawa Berdasarkan Sejarah Sastra Jawa" (1986) memberikan catatan periodisasi sastra Jawa, adalah berdasarkan Sejarah Perkembangan Wilayah atau Daerah Geografi, hal ini dapat disusun kronologi sebagai berikut : 

1) Jaman Jawa Tengah (Purba) (sekitar 750 M- 925 M) berpusat di Medang, antara lain menghasilkan Ramayana Kakawin

2) Jaman Jawa Timur (Purba) ( sekitar 929- 1016) berpusat di watanmas, antara lain menghasilkan kitab-kitab Parwa

3) Jaman Jawa Timur (Baru) (1019- 1522 M) berpusat di Kahuripan, Daha, Singasari, Majapahit, menghasilkan kitab-kitab kakawin

4) Jaman Jawa Tengah (Baru) (1550- sekarang) berpusat di Bintara Demak, Pajang, Mataram, Kartasura, Surakarta, Yogyakarta.


Bertolak dari uraian tersebut diatas sejarah Sastra Jawa dapat berfungsi untuk menempatkan suatu karya sastra pada eksistensinya sebagai karya yang berpengaruh pada berbagai segi kehidupan manusia. Karya sastra, dalam sejarahnya dapat memberikan andil yang signifikan dalam 

perkembangan manusia dan kemanusiaannya. 

Penempatan sejarah sastra dalam hal ini berhubungan dengan peranan pembaca 

sebagai pemberi makna sastra. Secara pragmatik karya sastra memiliki nilai-nilai yang dapat diterapkan oleh manusia dalam kehidupan sehari -harinya. Manusia dalam hal ini bisa dalam arti perorangan, namun juga dapat dalam skala masyarakat tertentu. Dengan demikian karya sastra dapat berpengaruh pada berbagai kehidupan masyarakat tertentu.


----------------------------------------------

Daftar Bacaan

1. Darusuprapta, 1986, “Periodisasi Sastra Jawa Berdasarkan Sejarah sastra Jawa”, makalah pada Seminar Bulan Bahasa 23 Oktober 1986 di Balai Penelitian Bahasa Yogyakarta.

2. Poerbatjaraka, Kapustakan Jawi

3. Padmosoekotjo, Ngengrengan Kasusastran Jawi

4. Wellek & Warren, Teori KesusastraanTeeuw, Sastra dan Ilmu Sastra

5. Luxemburg, Jan van, dkk, Pengantar Ilmu sastra

6. Purwanto, bambang, 2003, “Historisisme Baru dan Penulisan Sejarah” dalam 

Sastra Interdisipliner : Menyandingkan sastra dan Disiplin Ilmu sosial, 

(Yogyakarta: Qalam)


-----------------------------------------------------------------------------------

***

Serat Kalathido Karya Resi. Ng. Ronggowaraito. 

Bait 1 yang artinya "Sekarang derajat negara terlihat telah suram pelaksanaan undang-undang sudah rusak karena tanpa teladan. Kini, Sang Pujangga hatinya diliputi rasa sedih, prihatin tampak jelas kehina - dinannya amat suram tanda-tanda kehidupan. Akibat kesukaran duniawi, bertubi-tubi kebanjiran bencana".


* Tulisan singkat ini disusun untuk materi NGaji Budaya dalam Pagelaran Wayang Beber dengan lakon "Babaring Cokro Manggilingan ing Wulan Sasi Romadhon" di Serambi Masjid Al Wustho, Mangkunegaran, Solo. Rabu 13/04/22. Yang diselenggarakan oleh Lembaga Seniman Budayawan Muslimin Indonesia (LESBUMI) PCNU Kota Surakarta. 


** Penulis adalah Anggota NU sehari hari tinggal di Desa.