Advertisement
Menurut pengakuan N, bayi itu lahir di Klinik AS Rembang dan diduga merupakan anak dari SK, seorang perempuan yang berdomisili di Rembang. Informasi yang berkembang menyebutkan bahwa bayi tersebut lahir dari kehamilan di luar nikah.
Dalam pengakuannya, N menyebut bahwa bayi diserahkan melalui metode cash on delivery (COD) di depan pasar daerah Ampel. Saat itu, N bersama istrinya L, kedua orang tua L, serta seorang teman mereka berinisial T, menerima bayi dari seorang wanita yang diduga sebagai ibu kandungnya, yang datang bersama seorang pria berperan sebagai sopir. Setelah serah terima, N memberikan uang sebesar Rp 2 juta kepada pihak penyerah bayi dengan alasan sebagai biaya persalinan.
Dugaan Jual Beli Bayi Kian Menguat
Kasus ini terungkap setelah diketahui bahwa adopsi tersebut terjadi atas saran dari T, yang diduga mendapatkan informasi melalui media sosial Facebook. Dugaan praktik jual beli bayi semakin menguat dengan adanya transaksi uang dalam proses penyerahan.
Ketua ELBEHA BAROMETER, Sri Hartono, menyoroti kasus ini sebagai tindakan yang bertentangan dengan prinsip perlindungan anak dan berpotensi masuk dalam kategori Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO).
"Dalam Undang-Undang TPPO sudah ditegaskan bahwa salah satu modus perdagangan orang bisa terjadi melalui pengangkatan anak secara ilegal," ujar Sri Hartono.
Ia juga menegaskan bahwa adopsi ilegal melanggar Undang-Undang Perlindungan Anak, Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak, serta PP Nomor 44 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Pengasuhan Anak.
"Seharusnya adopsi dilakukan secara legal sesuai aturan. Jika tidak, jelas ini bisa dikategorikan sebagai tindak pidana perdagangan orang," tambahnya.
Pihaknya mengaku telah melakukan investigasi dan mengumpulkan berbagai keterangan, yang selanjutnya akan dikoordinasikan dengan pihak berwenang. Sri Hartono memastikan bahwa kasus ini akan dilaporkan ke aparat penegak hukum untuk ditindaklanjuti sesuai prosedur.
Kasus dugaan adopsi ilegal ini kini menjadi perhatian serius di Kabupaten Semarang, terutama dalam upaya mencegah praktik serupa yang dapat merugikan anak-anak serta melanggar hukum.(GT)