Advertisement
Ketua Umum Pengurus Pusat Forum Mahasiswa Pascasarjana (PP FORMAPAS) Maluku Utara, Riswan Sanun
MALUKU UTARA |MATALENSANEWS.com-Keberadaan tambang nikel PT Anugerah Sukses Mining (ASM) di Pulau Gebe, Kabupaten Halmahera Tengah, Maluku Utara, kembali menuai sorotan. Aktivis menilai perusahaan tersebut kebal hukum, meski jelas melanggar regulasi yang melarang eksploitasi di pulau kecil. Desakan pun muncul agar pemerintah segera menghentikan sementara seluruh aktivitas pertambangan di wilayah tersebut.
Aturan yang dilanggar bukan perkara sepele. Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 35/PUU-XXI/2024 serta Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 secara tegas melarang adanya kegiatan pertambangan di pulau-pulau kecil. Namun, praktik tambang tetap berjalan, seolah aturan hanya formalitas yang mudah diabaikan.
Kondisi ini menimbulkan kekecewaan masyarakat yang menilai kehadiran perusahaan tambang lebih banyak merusak lingkungan dibanding menyejahterakan warga.
Ketua Umum Pengurus Pusat Forum Mahasiswa Pascasarjana (PP FORMAPAS) Maluku Utara, Riswan Sanun, mengecam keras sikap PT ASM dan mendesak Kementerian ESDM melakukan audit menyeluruh, mulai dari kewajiban reklamasi, pascatambang, hingga pemenuhan dokumen resmi sesuai regulasi.
Menurutnya, operasi tambang nikel PT ASM telah menyebabkan kerusakan ekosistem mangrove di Pulau Gebe akibat sedimentasi.
“Hutan mangrove dikabarkan mulai kritis karena sedimentasi yang ditimbulkan perusahaan. Temuan lapangan bersama sejumlah aktivis menunjukkan adanya pohon mangrove yang punah dalam jumlah besar,” ujarnya, Senin (29/9/2025).
Riswan menyesalkan sikap perusahaan yang dinilai tidak mendukung pemerintah daerah dan warga untuk menjaga kelayakan pulau sebagai tempat tinggal. Ia menyebut laporan mengenai sedimentasi pesisir sudah muncul sejak 2021 dengan kondisi yang kian mengkhawatirkan, namun perusahaan tetap tidak menunjukkan tanggung jawab dalam reklamasi.
Berdasarkan informasi, PT ASM memiliki izin operasi hingga Agustus 2033 dengan luas konsesi mencapai 503 hektare. Namun, aktivitasnya dianggap melanggar sejumlah regulasi penting, antara lain UU Kehutanan, UU Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, serta UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Riswan juga menyoroti lemahnya pengawasan pemerintah. Menurutnya, Dinas Lingkungan Hidup (DLH) dan Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) seharusnya lebih tegas mengambil langkah nyata, bukan diam di tengah kerusakan yang sudah terjadi.
“Kerusakan mangrove dan sedimentasi ini jelas bukan sekadar kelalaian biasa, melainkan bentuk pelanggaran hukum yang nyata,” tegasnya.
Atas kondisi tersebut, Riswan mendesak Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) untuk menghentikan sementara aktivitas PT ASM. Ia juga meminta Kejaksaan Agung dan Satgas terkait segera melakukan audit menyeluruh atas dokumen legalitas perusahaan serta menindak tegas kerusakan lingkungan yang sudah terjadi.(Jeck)