Deoxa Indonesian Channels

lisensi

Advertisement MGID

Minggu, 12 Oktober 2025, 9:45:00 PM WIB
Last Updated 2025-10-12T14:45:51Z
BERITA UMUMNEWS

“Congyang, Cita Rasa Legendaris Semarang dari Racikan Koh Tiong”

Advertisement


Semarang
 |MatalensaNews.com- Warnanya merah tua, beraroma moka, rasanya manis dan kecut, serta menimbulkan efek hangat di perut setelah ditenggak. Minuman ini dikemas dalam botol gelap bergambar tiga orang berpakaian tradisional Tionghoa, salah satunya berpose sedang menyuguhkan minuman. Itulah Congyang, minuman fermentasi khas Kota Semarang yang legendaris.


Congyang—yang kerap disingkat menjadi “CY”—merupakan minuman hasil fermentasi dari beras putih, gula, spirit, dan perisa moka. Dengan kadar alkohol mencapai 19,66 persen, minuman ini termasuk dalam golongan B. Meski masyarakat mengenalnya dengan nama Congyang, sejatinya nama tersebut bukanlah nama resmi dari produk berlabel Cap Tiga Orang ini.


Seperti halnya kuliner dan budaya lain di Semarang, Congyang lahir dari akulturasi budaya Tionghoa dan Jawa. Minuman ini pertama kali diracik oleh Koh Tiong, seorang warga keturunan Tionghoa yang tinggal di kawasan Wotgandul, Pecinan, Semarang, pada era 1980-an.


Dahulu, kemasan Congyang tampak lebih tradisional. Botolnya dibungkus menggunakan besek (anyaman bambu) dan dami (batang padi kering) agar tidak mudah pecah. Penampilan sederhana itu kini berganti dengan botol modern berlabel tiga sosok pria Tionghoa yang menjadi ciri khasnya.


Menurut penuturan warga setempat, awalnya Koh Tiong menciptakan Congyang sebagai minuman penambah stamina bagi pria. Resepnya merupakan inovasi dari minuman pendahulunya bernama A Djong, yang berasal dari ramuan obat tradisional Tiongkok. A Djong sempat populer pada masanya hingga muncul istilah “mabuk A Djong” di kalangan masyarakat Semarang untuk menyebut orang yang hilang kendali karena minuman keras.


Budayawan Semarang Prie GS menilai, Congyang memiliki citra yang ambigu di tengah masyarakat. “Sejak awal Congyang lebih dekat pada industri daripada tradisi,” ujarnya. Hal ini, menurutnya, membuat Congyang berbeda dari minuman fermentasi lain seperti sake di Jepang atau sopi di Nusa Tenggara Timur yang memiliki peran kultural dalam upacara adat.


Kini, Congyang telah mengantongi izin produksi dan peredaran dari BPOM RI dan Bea Cukai. Minuman ini tersedia dalam dua ukuran, yakni tolde (botol besar) dan tolik (botol kecil). Distribusinya pun masih terbatas di wilayah Semarang dan sekitarnya, dan umumnya dijual di warung tradisional.


Bagi penikmatnya dari luar daerah, Congyang menjadi buah tangan khas Semarang yang unik. Tak hanya menawarkan rasa, Congyang juga membawa kisah panjang tentang keberagaman budaya di kota yang dijuluki Kota Atlas ini.


Seiring waktu, Congyang bukan lagi sekadar minuman beralkohol, melainkan juga jejak sejarah dan simbol akulturasi etnis Tionghoa di Semarang. Setelah mengenal kisahnya, mungkin pandangan terhadap Congyang tak lagi sebatas pada kata “mabuk”, melainkan pada cita rasa dan budaya yang menyertainya.


Kontributor : Djoko