Deoxa Indonesian Channels

lisensi

Advertisement MGID

 





 


Rabu, 15 Januari 2020, 1:36:00 AM WIB
Last Updated 2020-01-14T18:36:20Z
Sejarah dan Budaya

Mengenal Suku Samin di Wilayah Kabupaten Blora

Advertisement
Samin Surosentiko yang mengajarkan sedulur sikep
BLORA,MATALENSANEWS.com-Ajaran Samin ( Pergerakan Samin atau Saminisme)  yang ada disaerah Blora Jawa Tengah,adalah masyarakat keturunan para pengikut Samin Surosentiko yang mengajarkan sedulur sikep.Mereka mengobarkan semangat perlawanan terhadap Belanda dalam bentuk lain di luar kekerasan.

Salah satu bentuk perlawanan kepada Belanda yaitu dengan menolak membayar pajak, dan menolak segala peraturan yang dibuat pemerintah kolonial Belanda. Sehingga masyarakat Samin ini, kerap memusingkan pemerintah Belanda maupun penjajahan Jepang karena sikapnya. Sikap yang hingga sekarang dianggap menjengkelkan oleh sekelompok orang di luarnya.

Masyarakat Samin sendiri juga mengisolasi diri hingga baru pada tahun '70-an, karena mereka baru tahu Indonesia telah merdeka. Kelompok Samin tersebar sampai Jawa Tengah, namun konsentrasi terbesarnya berada di kawasan Blora, Jawa Tengah dan Bojonegoro, Jawa Timur.Jumlah mereka tidak banyak dan tinggal di kawasan pegunungan Kendeng di perbatasan dua provinsi.

Kelompok Samin lebih suka disebut wong sikep, karena kata samin bagi mereka mengandung makna negatif.Orang luar Samin sering menganggap mereka sebagai kelompok yang lugu, tidak suka mencuri, menolak membayar pajak, dan acap menjadi bahan lelucon.Pokok ajaran Samin Surosentiko, yang nama aslinya Raden Kohar, kelahiran Desa Ploso Kedhiren, Randublatung, tahun 1859, dan meninggal saat diasingkan ke Padang.

Sebagaimana paham lain yang dianggap oleh pendukungnya sebagai agama, orang Samin juga memiliki "kitab suci". "Kitab suci"' itu adalah Serat Jamus Kalimasada yang terdiri atas beberapa buku, antara lain Serat Punjer Kawitan, Serat Pikukuh Kasajaten, Serat Uri-uri Pambudi, Serat Jati Sawit, Serat Lampahing Urip, dan merupakan nama-nama kitab yang amat populer dan dimuliakan oleh orang Samin.

Ajaran dalam buku Serat Pikukuh Kasajaten (pengukuhan kehidupan sejati) ditulis dalam bentuk puisi tembang, yaitu suatu genre puisi tradisional kesusasteraan Jawa.Dengan mempedomani kitab itulah, orang Samin hendak membangun sebuah negara batin yang jauh dari sikap dengki srei, tukar padu, dahpen kemeren. Sebaliknya, mereka hendak mewujudkan perintah "Lakonana sabar trokal. Sabare dieling-eling. Trokali dilakoni."

Walaupun masa penjajahan Belanda dan Jepang telah berakhir, orang Samin tetap menilai pemerintah Indonesia saat itu tidak jujur. Oleh karenanya, ketika menikah mereka tidak mencatatkan dirinya baik di Kantor Urusan Agama/(KUA) atau di catatan sipil.

Secara umum, perilaku orang Samin/ 'Sikep' sangat jujur dan polos tetapi kritis.Mereka tidak mengenal tingkatan bahasa Jawa, jadi bahasa yang dipakai adalah bahasa Jawa ngoko. Bagi mereka menghormati orang lain tidak dari bahasa yang digunakan tapi sikap dan perbuatan yang ditunjukkan.

Pakaian orang Samin biasanya berupa baju lengan panjang tanpa kerah, berwarna hitam. Laki-laki memakai ikat kepala. Untuk pakaian wanita bentuknya kebaya lengan panjang, berkain sebatas di bawah tempurung lutut atau di atas mata kaki.

Dalam hal kekerabatan masyarakat Samin memiliki persamaan dengan kekerabatan Jawa pada umumnya. Sebutan-sebutan dan cara penyebutannya sama. Hanya saja mereka tidak terlalu mengenal hubungan darah atau generasi lebih ke atas setelah Kakek atau Nenek.Hubungan ketetanggaan baik sesama Samin maupun masyarakat di luar Samin terjalin dengan baik. Dalam menjaga dan melestarikan hubungan kekerabatan masyarakat Samin memiliki tradisi untuk saling berkunjung terutama pada saat satu keluarga mempunyai hajat sekalipun tempat tinggalnya jauh.

Perkawinan menurut orang suku Samin itu sangat penting. Dalam ajarannya perkawinan merupakan alat untuk meraih keluhuran budi yang seterusnya untuk menciptakan “Atmaja Uama” (anak yang mulia).

Dalam ajaran Samin, dalam perkawinan seorang pengantin laki-laki diharuskan mengucapkan syahadat, yang berbunyi kurang lebih demikian: “ Sejak Nabi Adam pekerjaan saya memang kawin. (Kali ini) mengawini seorang perempuan bernama…… Saya berjanji setia kepadanya. Hidup bersama telah kami jalani berdua.”

Demikian beberapa ajaran kepercayaan yang diajarkan Samin Surosentiko pada pengikutnya yang sampai sekarang masih dipatuhi warga samin.

Menurut orang Samin perkawinan sudah dianggap sah walaupun yang menikahkan hanya orang tua pengantin.Ajaran perihal Perkawinan dalam tembang Pangkur orang Samin adalah sebagai berikut (dalam Bahasa Jawa):

Basa JawaTerjemahan“Saha malih dadya garan,"Maka yang dijadikan pedoman, anggegulang gelunganing pembudi,untuk melatih budi yang ditata,palakrama nguwoh mangun, pernikahan yang berhasilkan bentuk,memangun traping widya,membangun penerapan ilmu, kasampar kasandhung dugi prayogântuk, terserempet, tersandung sampai kebajikan yang dicapai,ambudya atmaja 'tama, bercita-cita menjadi anak yang mulia,mugi-mugi dadi kanthi.”mudah-mudahan menjadi tuntunan."

Suatu tradisi yang menarik di kalangan suku samin berkaitan dengan pernikahan, dimana para calon pasangan dimungkinkan untuk melakukan perkawinan terlebih dahulu untuk menentukan apakah akan melanjutkan pilihannya untuk ke jenjang pernikahan atau tidak. Perilaku ini sudah banyak dicatat dan ditulis baik oleh peneliti Indonesia maupun asing.

Pandangan masyarakat Samin terhadap lingkungan sangat positif, mereka memanfaatkan alam (misalnya mengambil kayu) secukupnya saja dan tidak pernah mengeksploitasi. Hal ini sesuai dengan pikiran masyarakat Samin yang cukup sederhana, tidak berlebihan dan apa adanya. Tanah bagi mereka ibarat ibu sendiri, artinya tanah memberi penghidupan kepada mereka. Sebagai petani tradisional maka tanah mereka perlakukan sebaik-baiknya. Dalam pengolahan lahan (tumbuhan apa yang akan ditanam) mereka hanya berdasarkan musim saja yaitu penghujan dan kemarau. Masyarakat Samin menyadari isi dan kekayaan alam habis atau tidak tergantung pada pemakainya.

Pemukiman masyarakat Samin biasanya mengelompok dalam satu deretan rumah-rumah agar memudahkan untuk berkomunikasi. Rumah tersebut terbuat dari kayu terutama kayu jati dan juga bambu, jarang ditemui rumah berdinding batu bata. Bangunan rumah relatif luas dengan bentuk limasan, kampung, atau joglo. Penataan ruang sangat sederhana dan masih tradisional, terdiri dari ruang tamu yang cukup luas, kamar tidur, dan dapur. Kamar mandi dan sumur terletak agak jauh dan biasanya digunakan oleh beberapa keluarga. Kandang ternak berada di luar, di samping rumah.

Upacara-upacara tradisi yang ada pada masyarakat Samin antara lain nyadran (bersih desa) sekaligus menguras sumber air pada sebuah sumur tua yang banyak memberi manfaat pada masyarakat. Tradisi selamatan yang berkaitan dengan daur hidup yaitu kehamilan, kelahiran, khitanan, perkawinan, dan kematian. Mereka melakukan tradisi tersebut secara sederhana.(Yadi)