Deoxa Indonesian Channels

lisensi

Advertisement MGID

 





 


Kamis, 03 Juni 2021, 5:18:00 PM WIB
Last Updated 2021-06-03T10:18:40Z
NEWSOpini

Pengamalan Pancasila: Masih Sebatas Verbal? Oleh Farhat Abbas

Advertisement


Oleh Farhat Abbas Ketua Partai Negeri Daulat Indonesia (PANDAI)

MATALENSANEWS.com-Peringatan Hari Kelahiran Pancasila 1 Juni kemarin menyisakan banyak pertanyaan, karena memang banyak sudut pandang historis. Jika memang kelahiran Pancasila 1 Juni 1945, harusnya publik mengenali sila-silanya: 1. Kebangsaan Indonesia. 2. Internasionalisme atau Peri kemanusiaan. 3. Mufakat atau demokrasi. 4. Kesejahteraan sosial dan 5. Ketuhanan. Tapi, yang kita kenal Pancasila yang dirumuskan 18 Agustus 1945, yaitu: 1. Ketuhanan Yang Maha Esa. 2. Kemanusiaan yang adil dan beradab. 3. Perstuan Indonesia. 4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan.  5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesi


Catatan historis kelahiran Pancasila tersebut penting. Tapi, jauh lebih penting adalah sejauh mana Pancasila telah membumi atau hanyalah verbal? Variabel  ini sungguh mendasar. Karena, perumusannya melibatkan banyak tokoh kemerdekaan yang luar biasa pengorbanannya. Sejarah mencatat, sebanyak74 orang parapendiri negara dari berbagai unsur: suku, ras, golongan, profesi dan agama. Mereka duduk di Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), berhasil merumuskan fondasi sistem ketatanegaraan. Pancasila dan UUD1945 adalah produk idealitas dasar negara dan konstitusi untuk berjalan dan tegaknya suatu Negara bagi kepentingan bangsa dan rakyatnya. 


Idealitas itu merupakan produk pemikiran, komitmen bahkan tekad atau daya juang yang penuh kesungguhan (jihad)para pendirinegara (founding fathers). Merekademikianterpanggildenganpenuhdedikasi untuk mewujudkan tatanan negara yang diharapkan mampu memberikan yang terbaik bagi kepentingan bangsanya, secara material dan imaterial. Itulah pertanggungjawaban moral para pendiri negara dulu dalam upaya mengisi kemerdekaan, yang memang harus berbeda lebih baik dengan era terjajah. Pertanggungjawaban itu pula yang mendorong para pendiri negara – di satu sisi – mengerahkan seluruh kemampuan berpikirterbaiknya dengan penuh integritas. Di sisi lain, mereka mampu mengenyahkan ego sentrisnya dari rasa kesukuan, ras, golongan bahkan keyakinan yang sudah hidup atau dipegangnya selama ini. Yang ada dalam benaknya hanya satu: apa yang terbaik untuk bangsa dan negara, itulah yang dipersembahkan. 


Kita tahu, kebutuhan kehidupan berbangsa dan bernegara demikian multidimensional. Namun – sesuai dengan perjalanan capaian kemampuan dan kematangan pikir, spiritualitas dan tatapan terhadap apa yang terjadi di panggung internasional kala itu – semua itu menjadi energi positif sebagai masukan untuk sebuah produk dasar negara dan konstitusi. Meski bukan yang paling sempurna karena keberadaannya memang produk manusia biasa, setidaknya, karya konsensus hukum-politik para pendirinegara itu luar biasa. Sungguh total untuk kepentingan bangsa dan negara tercinta,tanpa secuil pun muncul vested interest yang bersifat pribadi ataupun golongan, apalagi menyangkut sesuatu yang sangat pragmatis (kekuasaan). 


Itulah kepribadian patriotispara pendiri negeri ini jelang negeri ini merdeka. Meski – saat sidang-sidang perumusan bermunculan dialektika – namun spiritnya adalah untuk kepentingan negara dan bangsa yang harus dikedepankan. Itulah karya hukum politik terbaik putera-putera bangsa yang sangat heroik yang dipersembahkan di meja. Yang mengharukan adalah ketulusan sikap patriotis dan ideologisnya untuk negara dan bangsa, bukan kepentingan sempit, terkait kekuasaan atau lainnya. Itulah kedewasaan mereka dalam berkorban. 


Dinamika Kehidupan Berbangsa-bernegara 

Rumusan Pancasila dan UUD 1945 yang sangat ideal itu harusnya mampu mengatarkan negara dan bangsanya maju, makmur, membuat rakyatnya merasakan hidup aman-nyaman karena mendapatkan perlindungan politik dan hukum yang adil sesuai martabatnya sebagai insan. Idealitas Pancasila harusnya menjadi pijakan atau landasan yang mampu menciptakan kondisi kehidupan bangsa bukan hanya bersatu, tapi juga penuh harmonis tata-hubungannya dan menentramkan sebagai buah manis rasa damai. 


Namun, idealitas itu – dalam perjalanannya sesuai perkembangan zaman – terus mengalami dinamika yang penuh distorsi. Bisa dikakatakan kian jauh dari yang dicita-citakan. Meski secara fisik terdapat sejumlah kemajuan riil, namun justru secara imeterial megalami degradasi yang kian serius. Makin jauh dari titik awal  perumusan Pancasila dan UUD1945, kian menganga jaraknya antara idealitas dengan realitas. Membumikan nilai-nilai Pancasila kian buram, terus membentur tembok raksasa yang sulit diterobos. 


Banyak fakta bicara nyata. Dalam kontek politik, kita saksikan panorama konfliktual antarelitis, ataupun lapisan grass-root. Setidaknya, panorama konfliktualitas itu menampak jelas saat berlangsung kontestasi politik seperti pemilihan kepala daerah (pilkada), pemilihan presiden-wakil prrsiden (pilpres) bahkan pemilihan legislatif (pileg). 


Stadium konfliknya – tak bisa kita pungkiri – sungguh mengkhawatirkan. Nyaris menjadikan negeri ini separatif, berpuing-puing menjadi beberapa negara bagian. NKRI diambang kehancuran. Pemandangan ini dapat kita garis-bawahi dengan jelas: spritualitas Sila ketiga Pancasila benar-benar sirna. Sila ketiga ini tak lagi diingat sebagai dasar negara, tapi lebih merupakan asesoris sistem ketata-negaraan yang bersifat given. 


Dampak destruktif sistem pemilihan langsung itu menjadi pertanyaan mendasar, apakah bangsa ini memang belum dewasa menghadapi realitas perbedaan politik,atau memang para peracancang dan implementator perundang-undangan tidak lagi menghormati Sila ketempat Pancasila? Pasti – secara kompak – akan dijawab, “kami semua tetap setia Pancasila tanpa reserve”. Namun – secara factual dan leterlijk – pemberlakuan sistem pemilihan langsung sudah menegasikan Sila keempat itu. Sila keempat ini bagai patung memorial. 


Ada tapi tiada.Sungguh memprihatinkan ketiadaannya, sementara – kemana-mana – selalu dikumandangkan eksistensi Pancasila, bukan sekedar ada. Di wilayah kemanusiaan dan keberadaban, kita saksikan sejumlah fakta yang menggambarkan betapa masing-masing komponen bangsa ini tidak lagi demikian menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia. 


Harmonitas hubungan sosial antar individu dan atau kelompok mudah terkikis, apalagi jika sudah mengarah pada spektrum politik, ekonomi, bahkan menyangkut hal-hal ideologis, termasuk keyakinan (agama). Daya rekat atau kohesivitas anak bangsa benar-benar kabur saat spektrum kepentingan sempit sudah mulai bicara dan diperjuangkan.

 

Yang merisaukan lagi, harkat dan martabat manusia sama sekali tak ada lagi harganya ketika dirinya sudah gelap mata hanya karena keterbatasan rupiah. Hanya karena ditagih utang dan tersinggung, atau kebutuhan mendesak (makanan), tak sedikit di antara mereka begitu tega menghabisi nyawa seseorang. Dalam kaitan ini, himpitan ekonomi sungguh menjadi faktor destruktif atas penghilangan nyawa seseorang. 


Peritiwa dan atau tindaknan ketidakmanusiaan jelaslah merupakan problem ketidakadilan. Ada korelasi dengan kegagalan pelaksanaan Amanat Sila kelima Pancasila. Di sisi lain – jika kita korelasikan dengan sila pertama dasarnegara kita – terlihatbahwa pembantaian itu mencerminkan ketidakpahaman, sekaligus kagagalan mengamalkan Sila pertama Pancasila. 


Harus kita garis-bawahi, spiritualitas Sila pertama bukanlah semata-mata beragama atau berkeyakinan terhadap agama yang dipilihnya. Yang tak kalah krusialnya adalah bagaimana mengimplementasikan spiritualitas atau nilai-nilai yang ditumbuhkan dalam agama. Dalam hal iniagama apapun tak ada yang membenarkan pembunuhan atau penghilangan nyawa secara paksa. Dalam perspektif Islam, Allah sungguh murka kepada hambanya yang mencabut nyawa seseorang dengan paksa. Jangankan oleh orang lain, oleh dirinya sendiri pun Allah murka dan akan mengadzabnya bagi siapa saja yang melalukan bunuh diri. (Q.S. An-Nisa: 29).

 

Ayat lain terkait dengan larangan bunuh diri, Allah tegaskan,“...Janganlah kamu menjerumuskan dirimu sendirikedalam jurang kebinasaan”(Q.S.Al-Baqarah: 195). Peringatan tegas Allah ini – jika dikaitkan dalam konteks kehidupan kekinian – menjadi relevan untuk mengerem secara terencana dan dengan kekuatan hukum yang penuh terhadap persoalan narkoba. Urgensinya bukan semata-mata menjaga kepentingan kesehatan setiap diri umat manusia, tapi memang dampak fisik dan psikologis bagi pemakai narkoba. Jika umat manusia mampu hidup tanpa narkoba, maka makna konstruktifnya bukan hanya individu yang bersangkutan semata, tapi menyelamatkan generasi anak bangsa ini. Dan inilah peran negara yang harus punya keterpanggilan politik dan hukum yang kuat dalam mengatasi mavia narkoba. 


Kejahatan sistimatis ini harus dilawan dengan ekstra aksi yang penuh ideologis, bersumberkan Pancasila (Sila pertama), ataupun panggilan ilahiyah sejalan dengan tuntunan Allah. Jika kita cermati persebaran dan gurita narkoba dan – di sisilain – kita 

zoom lebih jauh dengan Sila pertama Pancasila – maka kita bisa membaca korelasi factual bahwa nilai-nilai Pancasila memang bukan hanya tidak atau belum dipahami, tapi lebih dari itu: tidak diimplementasikan secara konsekuen, baik setiap diri sebagai anak bangsa, ataupun negara yang belum membumikan dasar negara secara tegas.

 

Andai kita bedah seluruh deviasi sosial-budaya, hukum bahkan lainnya, maka hanya ada satu kata: krisis multidimensional yang kini telah melanda bangsa dan negeri ini sudah demikian mereduksi spiritualitas dan nilai-nilai Pancasila. Jika seluruh panorama deviasi itu dicermati lebih jernih, pada akhirnya kita harus bertolak daripersoalan kekuasaan. Ia menjadi faktor determinan apa Pancasila akan terbumikan secara efektif dan maksimal, atau tetap hanya sebagai asesoris dari sistem ketatanegaraan ini. Ketika kita menengok lembah kekuasaan, kita saksikan panorama abuse of power secara terencana bahkan konspiratif dengan melibatkan berbagai komponen elitis supratruktur hingga grass-root yang pragmatis. Penyalahgunaannya terjadisaatberkuasa atau proses sebelumnya: menuju kekuasaan, sehingga kita saksikan dinamika politik penghalalan 

segala cara (moralhazard). 


Panorama kecurangan dinilai sebagai sesuatu yang wajar dalam kancah demokrasi. Alibi ini – tak bisa disangkal – telah menggiring gerakan reaktif penuntutan pro penegakan hukum. Namun, upaya pencarian keadilan politik tak sedikit yang harus terjerembab karena barisan kekuasaan begitu allout dalam menggunakan seluruh kekuatanya untuk mempertahankan kepentingan pragmatisnya. 


Dalam kaitan itu penegakan hokum untuk urusan politik jadi loyo, tunduk pada kekuasaan, atau lebih ekstrimnya hukum hanya untuk kekuasaan dan akhirnya negeri ini berstatus sebagai negara kekuasaan, bukan negara hukum lagi. Kondisi ini – secara langsung atau tidak – menjadi faktor disintegritas politik antara pemilik kekuasaan versus sebagian anak bangsa yang tetap mendambakan penegakan hukum. Karena itu, konfliktualitas – setidaknya ketidakharmonisan hubungan negara – rakyat (meskisebagian) – menjadi panorama yang sulit dihindarkan. Dalam kaitan ini, cita-cita persatuan riil yang dispiritkan Sila ketiga Pancasila menjadi fatamorgana, atau hanya menjadi catatan kertas, teoritik semata. Atau, hanya menjadi proyek sosialisasi atas nama negara. 


Yang cukup mencemaskan adalah para pihak yang selama ini tercatat sebagai “pendekar” penegakan hukum – setidaknya tercatat sebagai pihak yang demikian committed untuk hukum dan keadilan – justru masuk dalam jeratan kooptasi kekuasaan. Ia larut pada irama permainan hukum prokekuasaan. Tanpa malu, iamenjadi bagian dari kekuasaan yang – dimata sebagian anak bangsa – sejatinya bermasalah. Dalam kaitan ini, terlihat ada krisis keteladanan integritas.

 

Bagaimana dengan ekonomi? Cita-cita kemakmuran relatif telah terwujud, tapi hanya sebagian pihak, padahal amanatnya bagi seluruh rakyat (amanat Pasal 33 UUD 1945). Yang kita saksikan adalah eksplorasi dan eksploitase tanpa batas dengan relatively cukup sedikit rembesannya untuk rakyat yang sejahtera, apalagi makmur. Yang perlu kita catat lebih jauh adalah reaksi alam semesta akibat Gerakan sistimatis eksploitase dan eksplorasi lingkungan alam itu. Alam semesta memang seperti tak berdaya akibat peran dan campur tangan umat manusia yang demikian taghut (malampaui batas) dalam mengeksploitasi. Namun kita saksikan ketidakberdayaan mereka ditunjukkan dengan sejumlah reaksi. Mereka“berontak”dalam bentuk longsor, banjir, gempa, gerakan angin yang demikian dahsyat daya terjangnya.

 

Muara Persoalan 

Jika kita identifikasimuara persoalannya,  maka semua panorama distorsi atau krisis yang telah memultidimensi itu merupakan implikasi dari krisis moralitas umat manusia yang tertumpu pada kualitas hati nurani yang rusak dalam stadium tinggi. Kerusakan hati yang sudah masuk dalam relung nafsul`ammarah dan nafsul-lawwamah – dalam perspektif Imam Ghazali(al-kimyatu as-sa`adah) – mendorong hilangnya kepekaan dalam menatap urgensi kelestarian alam yang harusnya dipelihara, secara politik (regulasi, perudang-undangan) dan secara ideologis melalui perangkat penegakan hukum yang tegas tanpa kompromi. 


Ketidaksadaran atau ketidakpekaannya membuatdirinya demikian ganas dalam mengekploitasi tatanan alam secara melampaui batas. Tertutupnya nafsul-muhimmah yang ada dalam diri kita membuatnya ganas terhadap alam. Dan hal ini membuat kita sering diperhadapkan panorama bencana alam yang tak terhitung lagi jumlah peristiwanya, apalagi dikaitkan dengan nilai material dan imaterial para pihak yang terkena dampak. Setiap terjadi bencana alam, selalu terlihat pemandangan yang sangat memprihatinkan dari sisi kemanusiaan. Yang menjadi masalah, munculkah empati menyaksikan jeritan kesedihan itu? Ada, tapi lebih bersifat represif, tidak sampai pada menjawab persoalan yang sangat mendasar mengapa terjadi bencana. 


Harus kita catat,sejumlah bencana alam merupakan reaksiatas “pemerkosaan” terhadap alam yang melampaui batas sehingga terjadi kerusakan ekosistem. Karena itu, janganlah melihat reaksi alam itu, tapi bagaimana kualitas dan agresivitas dorongan para pihak yang menguasai dan mengeksploitase alam secara melampaui batas itu tanpa memperhatikan hak-hak alam yang menyatu dalam dirinya. Dalam kaitan itu, produk kebijakan yang dilahirkan dan para pihak yang – secara konspiratif – begitu agresif dalam mengeksploitasi sumber daya alam tanpa mempertimbangkan kepentingan ekosistemnya, itu semua menjadi faktor yang perlu dilihat dengan jernih dan sikapi dengan tegas. 


Hal ini berarti ada persoalan mendasar dalam hal moralitas kekuasaan dalam diri pemangku kebijakan, pemegang otoritas lapangan, juga para pihak yang menghendaki secara agresif terhadap sumberdaya alam itu. Dalam hal ini kita harus mencatat, krisis moralitas yang melanda mereka cukup menggambarkan betapa mereka takpeduliterhadap entitas makhluk lain (alam semesta), yang sesungguhnya saling melengkapi dalam tatanan kehidupan bersama dan karena itu harus saling menghormati hak-haknya sebagai sesama makhluk hidup. Krisis moralitas itu membuat mereka tak mau memikirkan dampa kekologis yang – padaakhirnya – menerpa kepentingan kemanusiaan. 


Dalam kaitan itu, kita semua layak mempertanyakan bagaimana kualitas moral para pihak yang berperan sebagai pengendali kekuasaan, perancang regulasi di setiap level, pelaksana di lapangan dan cara pandang para pihak yang demikian agresif mengeksploitase sumber daya alam? Pertanyaan itu – jika ditarik lebih jauh kebelakang – membuat pertayaan lagi, bagaimana proses rekruitmen saat memberikan mandat kakuasaan? Jika dikaitkan proses politik, maka pertanyaan yang relevan adalah apakah sudah pada garis yang benar saat kandidat menuju kursi kepemimpinan, dalam wilayah eksekutif ataupun legislatif?

 

Perlu kita sadari bersama, ketika seluruh proses pemilihannya on the track, maka moralitas kekuasaannya akan dipandu dengan sistem moral yang konstruktif, yang selalu melihat atau mempertimbangkan sejumlah anasir yang bernuansa kesimbangan. Dzat Allah akan selalu bersemayam dalam hati manusia ketika dirinya akan melakukan sesuatu, termasuk goresan tandatangannya: apakah akan menyelematkan atau menghacurkannya. Esksistensi Allah yang merasuk ke dalam hatinya akan selalu memandunya ke wilayah penyelamatan, terhadap kepentingan alam semesta dan umat manusia. Inilah pandangan sufistik yang kini terasa kian hilang dalam diri para pemangku kekuasaan. 


Sebaliknya, ketika nama Allah sirna atau tiada dari qolbunya, maka itulah yang kita saksikan pada proses politik yang out of thet rack. Proses politik yang menghalalkan segela cara, apalagi dibackup oleh kekuatan bohir (sponsor), maka konspirasi dengan para pemodal tak bisa dihindari. Inilah ketundukan yang berdampak jauh pada kerusakan sumber daya alam kita. Jatidiri Allah sebagai pemilik alam semesta tersingkirkan dari qolbunya. Akibatnya, ketundukan terhadap para sponsor itulah yang dominan. Dan hal ini –  secara faktual – telah mendorong diri mereka tererosi atau tergradasi integritasnya. Catatan ini dapat kita rujuk pada panorama penindakan hukum akibat keterlibatannya melawan hukum. Jumlahnya pun relatif tidak kecil. 


Sebuah renungan, apakah Pancasila dan atau konstitusi kita memberikan toleransi terhadap praktik kejahatan terhadap sumber-daya alam? Tidak. Sila pertama Pancasila tentang ketuhanan, bukan semata-mata bicara tentang keyakinan yang bersifat vertical dalam kaitan ibadah mahdhah, tapi – secara artifisial dan substantif –adalah Dia Yang Maha Esa memerintahkan apa terhadap alam. Titahnya dalam domain ibadah ghoiru mahdah adalah memelihara, bukan membuat kerusakan (Q.S.Al-`Araf:56). Titah dan atau ajaran ini untuk kepentingan umat manusia, di samping makhluk lain seperti binatang. 


Mencermati kerusakan ekosistem alam akibat krisis moralitas manusia cukup menggambarkan adanya spiritualitas dari Sila pertama Pancasila dan atau – minimal amanat konsitusi (Pasal 33 UUD 1945) tidak diimplementasikan secara konsekuen-konsisten. Minimalitas pengamalan atau menjadikan dasarnegara dan konstitusi sebagai asesoris politik dan demokrasi itu juga berkorelasi secara kontraktif pada persoalan hak-hak kemanusiaan yang adil. Harus kita catat, kejahatan sistimatis terhadap tatanan alam sarat dengan gambaran ketimpangan sosial-ekonomi. 


Dalam hal ini data bicara lantang tentang faktual bagaimana investasi asing seperti Freeport dan atau perusahaan-perusahaan tambang lainnya sudah sekian lama tidak memberlakukan sistem bagi-hasil atau konsesi yang fair, tidakhanya terhadap negara, tapi juga terhadap masyarakat sekitar wilayah tambang. Pamandangan yang terlihat merata adalah panorama kemiskinan yang selalu eksis di sekitar lokasi tambang, padahal mereka harus menghadapi sejumlah resiko pencemaran akibat tailing yang terus-menerus terbuang ke lingkungan sekitarnya. Pencemarannya mengancam posisi kesehatannya. 


Bicara ketimpangan sosial-ekonomi, kita –  secara terbuka – harus dicatat bahwa panorama itu terjadi akibat krisis moralitas, minimal hilangnya nurani dari para pemangku jabatan dan para pihak yang bersekongkol dengan negara. Perlu kita sadari, menciptakan ketimpangan sosial-ekonomidan bahkan membiarkannya – dalam kaitan Sila kedua Pancasila – merupakan tindakan ketidakmanusiaan, bahkan bisa diterjemahkan lebih ektrim: biadab dan melanggar hak asasi. 


Sementara itu, jika kita refleksikan lebih jauh kewilayah Sila pertama dasar negara Pancasila, maka kebijakan dan atau tindakan yang berujung pada panorama ketidakmanusiaan dan kebiadaban menggambarkan kejahatan, bukan hanya pada diri manusia, tapijuga kepada sang Pencipta. Kita tahu, ajaran ketuhanan – dari sistem keyakinan manapun – tidak ada yang membenarkan para pihak menggencet kepentingan umat manusia lain. Karenaitu, krisismoralitas yang membuat hilangnya empatikemanusiaan dan ketidakmauan bertindak konstruktif secara regulatif atau pun politik untuk mengikis kemiskinan, sesungguhnya mencerminkan sikap dan tindak 

ketidaktaatannya terhadap Sila pertama Pancasila. 


Kita perlu menengok kembali ajaran eksplisit terkait ketuhanan. Keyakinan dari agama apapun mengumandangkan spiritualitas untuk hidup saling menolong, dalam konteks sosial, ekonomi bahkan lainnya. Dalam Islam, Allah menyampaikan perintah tegas, “Saling menolonglah (kalian) dalam urusan kebaikan.Dan janganlah tolong-menolong untuk urusan ketidakbaikan” (Q.S.Al-Maidah: 2). Pesan utama dari ayat ini jelas: kita semua harus saling empati dalam bentuk menolong secara konkret ketika menyaksikan panorama kemiskinan. Lebih dari itu, pesan itu juga menegaskan larangan bagi kita untuk bersekongkol terhadap apapun untuk urusan ketidakbaikan termasuk eksploitase alam, pembiaran kemiskinan dan ketidakmanusiaan. 


Jika kita lansir lebih jauh, di balik pesan mulia ajaran keagamaan yang kemudian dirumuskan pada Sila pertama Pancasila adalah spiritualitasnya yang sesungguhnya mengarah pada kepentingan keharmonisan, kerukunan dan bahkan persatuan antar sesama anak-bangsa. Arah ideal ini pun – secara paralel – termaktub pada Sila ketiga 

Pancasila. Yang menarik adalah arah spiritualitas yang awalnya lebih ke dimensisosial, namun – tak bisa kita pungkiri– implikasinya berkembang ke zona lain, terutama politik dan ekonomi. 


Panorama keharmonisan, kerukunan dan persatuan merupakan elemen strategis untuk mengantarkan posisi bangsa dan negara yang kuat dan maju. Ia akan mampu tegak berdiri di hadapan kekuatan bangsa-bangsa lain di muka bumi ini. Modalitas sosial-politik-ekonomi dan budaya karena mengimplemantasikan spiritualitas Pancasila dan UUD 1945 sesungguhnya merupakan kekuatan dahsyat bangsa dan negeri ini. Sangat disayangkan, modalitas itu kini tergerus oleh krisis moralitas dari berbagai elemen, dari anasir pemangku jabatan, pemegang otoritas lapangan, masyarakat biasa. Semua itu akibat pragmatisme yang sudah demikian melanda kita semua tanpa menyadari dampak destruktifnya. Inilah krisis multi dimensional yang kita hadapi saat ini. 


Dari awal, para pendiri negara – dalam merumuskan Pancasila dan UUD 1945 – sudah merancang konstruksinya secara ideal. Pijakan awalnya adalah kepentingan umat manusia sebagai bangsa yang harus dihormati dan saling menghormati, saling menolong, berkepentingan untuk wujudkan keharmonisan untuk misi persatuan. Dan misi ini akan mudah terbentuk karena upaya maksimal menegakkan keadilan, secara hukum, ekonomi, politik bahkan tatanan budaya. 


Semua itu untuk kepentingan kemanusiaan yang harus beradab, tidak lagi iperlakukan secara biadab sebagai refleksi ke merdekaan sejati suatu bangsa yang bersepakat mendirikan negara. Itulah keberadaban yang sejatinya merupakan potret kemanusiaan sesuai fitrah. Jika keberadaban itu terefleksi lebih jauh ke alam lingkungan sekitar, maka negeri ini akan sepi dari amuk alam yang kerapkali terjadi, baik dalam rentang waktu sering atau jarang. Satu hal yang harus kita garis-bawahi, alam mengamuk sebagai reaksi alamiah atas tangan-tangan jahat dan tindakan kotor kita terhadap makhluk Allah tempat kita berpijak. 


Idealitas Pancasila dan konstitusi itu – harus jujur kita sampaikan – sudah tererosi jauh. Pancasila hanya menjadi konsensus politik di atas kertas, baru diterima secara politik, belum sampai secara ideologis. Hingga deti kini – jika kita jujur sampaikan – Pancasila belum manjadi panduan ideologis yang harusnya diimpelementasikan secara konsisten dan konsekuen oleh semua elemen dan idealnya dari para pihak selaku pemang kukekuasaan. 


Sebagai umat manusia yang sadar berbangsa dan bernegara, maka tak ada opsi lain kecuali harus terpanggil bagaimana menghadirkan kembali spirit dan nilai-nilai Pancasila dan UUD1945 yang ideal itu dalam tataran sikap, cara pandang dan aksinyata (implementasi). Inilah ramuan mujarab, bukan hanya keluar dari jebakan masalah yang sudah memultidimensi, tapi berpotensi untuk menjadikan bangsa dan negeri ini besar. Tidak tertutup kemungkinan, Indonesia akan tampil sebagai negara raksasa yang disegani, minimal dari sisi politik dan ekonomi. 


Idealitas itu – sebagai bangsa dan negara raksasa dan disegani – harus kita catat masih terlalu jauh. Proses perjalanan pembumian Pancasila kini kian terdegradasi dan cenderung akan menyirnakan dasar negara ini. Karena itu, dengan pahit kita perlu mempertanyakan dengan jujur, SUDAHKAH kita berPANCASILA? Jawabannya still on process. Yang memprihatinkan, posisi prosesnya justru makin menyungkur. Dengan posisi seperti ini, maka kita pun dapat mempertanyakan lebih jauh: sudahkah kita MENJADI bangsa Indonesia? Jika refeferensinya berpancasila secara konsekuensi, konsisten, implementatif, maka jawabannya jelas: BELUM. So, who we are? Jawabannya bukan politis, tapiperlu sikap dan tindakan ideologis, bukan verbal atau claim. Jawaban idelogis bagi semua komponen, terlebih penyelenggara negara, dari level tertinggi hingga terbawah: sebagai keteladanan kepada rakyat. 


Jakarta, 2 Juni 2021


Vio Sari