Deoxa Indonesian Channels

lisensi

Advertisement MGID

 


 





 


Jumat, 03 Juni 2022, 8:25:00 PM WIB
Last Updated 2022-06-03T13:40:32Z
NEWSSejarah dan Budaya

SIRAH MAQOSIDANA (Sambung Ruh Ulama Nusantara) RADEN BONDAN KEJAWAN - DYAH LEMBU PETENG (Desa Tarub, Tawangharjo, Grobogan, Jateng)

Advertisement


Part 3

Oleh : Sofyan Mohammad

MATALENSANEWS.com-Keberadaan Raden Bondan Kejawan adalah salah satu kisah yang tidak dipisahkan dengan Kerajaan Mataram Islam. Sebab beliau diyakini sebagai salah satu pancer leluhur wangsa Mataram Islam. Sosok ini pula yang disebut sebagai penyambung nasab Wangsa Mataram Islam dengan Majapahit. Dyah Lembu Peteng juga diyakini sebagai seorang yang menjadi jangkar proses transformasi turunnya Wahyu Keraton untuk dinasti penguasa tanah Jawa - Nusantara. 


Wahyu Keraton dalam buku Filosofi Wahyu Keraton : Rahasia Di Balik Cerita, Simbolis dan Lambang Keraton Jawa disebutkan jika Wahyu Keraton adalah salah satu ungkapan rahasia dibalik cerita, simbolis dan ilmu bagi orang Jawa tentang eksistensi sebuah Keraton Jawa, dalam perjalanannya selalu diwarnai dengan sanepan atau isyaroh yang berkembang melalui cerita tutur dan cariyos-cariyos sejak zaman dahulu. Konon dikisahkan Prabu Dewata Cengkar hingga sosok Ken Arok juga dikisahkan adalah seorang yang menurunkan raja-raja di tanah Jawa secara berkelanjutan. Terkait Wahyu Keraton adalah bagian konsep Ratu - Binathara yang juga diajarkan dalam kitab Jitabsara. 


Dalam dinasti Maratam Islam ada epos carita tentang keturunan Raden Bondan Kejawan tentang Wahyu Keraton yang disebut dengan wahyu gagak emprit yang dinisbatkan dalam bentuk Kelapa Muda (degan hijau). Diantara anak keturunan Dyah Lembu Peteng konon diceritakan pernah saling berebut kesempatan untuk mendapatkan wahyu tersebut yaitu Ki Ageng Pemanahan dan Ki Ageng Giring juga melalui peran Kyai Ageng Sela sebagai leluhur raja-raja Mataram. 


Raden Bondan Kejawan diriwayatkan sebagai putra ke 14 dari Prabu Brawijaya V atau Bhre Kertabhumi adalah sosok yang diyakini sebagai raja terakhir Majapahit yang memerintah pada tahun 1468 -1478. Dalam buku Brawijaya Moksa Detik-Detik Akhir Perjalanan Hidup Prabu Majapahit, disebutkan Bhre Kertabhumi adalah Raja Majapahit yang memakai nama Brawijaya sebagai pengingat akan pendiri kerajaan Majapahit (Raden Wijaya) sekaligus sebagai sebuah strategi politik untuk memperkuat kedudukan Raja Majapahit.Sedangkan menurut menurut Purwaka Caruban Nagari, Prabu Brawijaya bergelar sebagai Bhre Kertabhumi atau dalam catatan kronik Tiongkok dari kuil Sam Po Kong disebut Kung-ta-bu-mi.


Menurut buku Babad Tanah Jawi, Mulai dari Nabi Adam Sampai Tahun 1647 disebutkan jika Dyah Lembu Peteng adalah putra Prabu Brawijaya V dengan seorang ibu yang bernama Putri Wandan Sari. Dikisahkan suatu ketika Raja Brawijaya V menderita sakit yang disebabkan terpapar sebuah penyakit kelamin (dalam salah satu sumber menyebutkan semacam penyakit raja singa). Penyakit raja singa atau sifilis menurut Journal of Sexual Medicine disebutkan raja singa telah menginfeksi manusia selama berabad-abad yang lampau. Hingga ada hipotesis yang menyebutkan sifilis telah teridentifikasi pada periode ketika Christopher Columbus melakukan perjalanan ke Dunia Baru. 


Penyakit kelamin yang diderita oleh Prabu Brawijaya V telah dilakukan berbagai pengobatan oleh para tabib terbaik Istana. Akan tetapi belum juga mendapatkan kesembuhan. Pada akhirnya Sang Prabu melakukan tetirah "topomeleng" guna mendapatkan petunjuk atas penyakit yang dideritanya. Dalam meditasi tersebut Prabu Brawijaya V atau Bhre Kertabhumi mendapatkan pawisik berupa petunjuk jika ingin sembuh penyakitnya tersebut maka harus mengumpuli atau menyetubuhi seorang wanita yang berdarah Wandhan dan perempuan itu harus dinikahi sebagai istri Bhre Kertabhumi yang terakhir. 


Dalam beberapa waktu kemudian melalui proses pencarian agar sesuai dengan ciri ciri sasmita goib maka dipilihlah seorang gadis yang bernama Bondrit Cemara yang merupakan seorang dayang (emban/pelayan) yang biasa melayani permaisuri Dewi Dwarawati (Putri Campa). Menurut catatan kronik Tiongkok dari kuil Sam Po Kong Semarang Dewi Dwarawati memiliki nama asli Siu Ban Ci atau Tan Eng Kian, biasa disebut Putri Kian atau yang lebih dikenal sebagai Putri Cina yang selanjutnya melahirkan putra bernama Jin Bun. Siu Ban Ci sendiri merupakan seorang putri Tan Go Wat dan Siu Te Yo dari Gresik. Tan Go Wat merupakan seorang saudagar dan juga ulama bergelar Bah Tong. 


Bondrit Cemara setelah dinikahi oleh Prabu Brawijaya V mendapatkan gelar nama sebutan Putri Wandan Sari. Dikisahkan setelah berkumpul (bersetubuh) dengan Putri Wandan Sari maka Bre Kertabumi sembuh dari penyakitnya dan telah membuat Putri Wandan Sari hamil. Setelah sembilan bulan hamil maka Putri Wandan Sari melahirkan seorang bayi laki laki. Namun setelah melahirkan anak justru Prabu Brawijaya menceraikan. Kemudian bayi laki laki yang telah dilahirkan tersebut diserahkan kepada Ki Buyut Masahar dengan pesan agar bayi tersebut setelah berusia sewindu harus dibunuh. Pesan Sang Nata Prabu Brawijaya karena adanya ramalan dari para ahli nujum (peramal) yang menyatakan anak ini kelak akan membawa keburukan untuk Kerajaan Majapahit.


Ki Buyut Masahar adalah seorang abdi Kerajaan sebagai Juru sawah pertanian. Ki Buyut Masahar mendapatkan pesan dan amanat dari Prabu Brawijaya V tersebut menyatakan menyanggupi, hingga jabang bayi dibawa pulang dan dirawat baik-baik oleh Nyai Masahar yang kebetulan sudah bertahun-tahun merindukan lahirnya seorang anak. Jabang bayi itu lantas diberi nama Bondan Kejawan  atau punya sebutan nama lain yaitu Lembu Peteng. 


Waktu berjalan secara tidak terasa karena Lembu Peteng telah mencapai usia sewindu, Ki Buyut Masahar menjadi gelisah hingga memutuskan untuk memenuhi janjinya kepada sang prabu, yaitu akan membunuh Bondan Kejawan kecil. Hal itu akan dilakukan karena apabila tidak dilakukan tentu Ki Buyut Masahar dianggap melanggar janjinya sendiri. Karena merasa takut akan mendapatkan hukuman dari sang Prabu maka niat itu akan dilaksanakan hingga Ki Buyut Masahar telah mempersiapkan keris untuk menikam Lembu Peteng yang masih kecil. Namun ketika melihat keris terhunus siap untuk ditikamkan ke tubuh Bondan Kejawan justru Nyai Buyut Masahar menangis hingga jatuh pingsan. 


Karena rasa cintanya kepada sang istri dan juga rasa sayangnya pada Lembu Peteng kecil yang tampan dan menggemaskan maka akhirnya Ki Buyut Masahar membatalkan niat untuk membunuh Bondan Kejawan. Untuk hal tersebut Ki Buyut Masahar terpaksa berdusta kepada sang Prabu dengan menyampaikan jika Lembu Peteng sudah dibunuh dan keberadaan Bondan Kejawan dirahasiakan.


Sebagai seorang abdi Kerajaan selaku Juru Sawah Pertanian maka Ki Buyut Masahar setiap habis musim panen selalu menyerahkan hasil pertaniannya kepada sang Prabu Majapahit. Diceritakan pada saat itu hasil panen pertanian sangat melimpah hingga hasil panen tersebut harus bawa dengan menggunakan beberapa pedati dan kereta bahkan sebagian dipikul oleh rombongan banyak orang. Pada saat Ki Buyut Masahar berangkat ke Majapahit beserta rombongan yang banyak, Bondan Kejawan diam diam ternyata menyelinap ikut serta di luar pengetahuan bapak angkatnya. Sesampai di Kota Raja Ki Buyut Masahar langsung menghadap sendiri Sang Nata Prabu Brawijaya V didalam pisowanan. Hasil panen telah diserahkan kepada sang Sang Prabu melalui para pembesar yang ditugaskan.


Diluar ruang pisowanan Lembu Peteng kecil tiba tiba masuk kedalam pendopo Siti Hinggil dan langsung menuju tempat diketaknya gamelan Sekar Dalima, yang merupakan seperangkat pusaka sakti hadiah dari Raja Campa. Menurut beberapa sumber pada saat ini gong Kyai Sekar Delima masih tersimpan baik di Sasana Sewaka Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat. 



Dikisahkan Bondan Kejawan di Siti Hinggil tersebut langsung memukul mukul gamelan Sekar Delima. Padahal Sekar Delima merupakan gamelan pusaka keramat yang tidak boleh dimainkan oleh sembarang orang artinya tidak semua orang dapat membuat gamelan tersebut berbunyi, sehingga gamelan tersebut hanya dimainkan (ditutug) pada waktu-waktu tertentu saja dan oleh para yogo khusus. Namun ajaibnya gamelan tersebut berbunyi saat di buat mainan oleh Bondan Kejawan dengan sendirinya bunyi gamelan itu membuat terkejut banyak orang termasuk Sang Prabu Brawijaya V didalam ruang pisowanan mendengar bunyi gamelan tersebut dan membuat beliau murka. Sang Prabu Brawijaya segera memberikan perintah untuk memeriksa siapa-siapa yang berani memainkan gamelan Sekar Dalima itu. Para hulubalang bertindak cepat dan langsung menangkap Bondan Kejawan dan ditanya siapa nama dan dari mana asalnya, dia mengaku sebagai anak Ki Buyut Masahar selanjutnya Bondan Kejawan langsung dibawa menghadap Sang Prabu.


Begitu Lembu Peteng dihadapan Prabu Brawijaya maka diperintahkan untuk dihukum mati. Namun Dengan cepat Ki Buyut Masahar memohon ampun kepada Sang Prabu agar mengurungkan niatnya melakukan eksekusi dengan memberikan keterangan jika anak tersebut sejatinya adalah anak kandung Prabu Brawijaya dengan Putri Wandan Sari yang dahulu telah dititipkan kepada Ki Buyut Masahar. Mendengar informasi tersebut Prabu Brawijaya terkesiap dan langsung mengurungkan niatnya untuk mengeksekusi Bondan Kejawan. Dalam hati sang prabu merasa gembira melihat putranya kembali sebab beliau merasa tidak percaya jika Lembu Peteng adalah anak kandung Ki Buyut Masahar. 


Bagaimana pun Bondan Kejawan adalah darah dagingnya sendiri yang pernah dititipkan dan disuruh dibunuh karena penafsiran ramalan dari ahli nujum mengenai perpindahan Majapahit ke Mataram. Setelah melihat sendiri wajah anaknya maka Sang prabu sangat trenyuh dan tidak marah justru merasa bahagia. Sebagai bentuk kebahagian maka beliau saat itu menganugrahkan gelar Raden pada nama Bondan Kejawan dan Dyah pada nama Lembu Peteng sekaligus memberikan hadiah pepetri yang berupa bilah keris bernama Mahisa Nular dan senjata Pusaka yaitu tombak Kyai Plered. 


Sebelum pulang kembali ke rumahnya Ki Buyut Masahar kembali mendapatkan pesan dari Prabu Brawijaya agar Raden Bondan Kejawan berikut keris Mahisa Nular dan tombak Kyai Plered dititipkan kepada Ki Ageng Tarub yang merupakan suami dari seorang bidadari dari kahyangan yaitu Dewi Nawangwulan yang berada di Desa Tarub (Saat ini secara administratif terletak di Desa Tarub, Tawangharjo, Grobogan, Jawa Tengah)


Mendapatkan pesan amanah seperti itu Ki Buyut Masahar dan Raden Bondan Kejawan segera berangkat ke Desa Tarub. Sampai di Tarub, Dyah Lembu Peteng dan dua pusaka diserahkan kepada Ki Ageng Tarub. Sejak saat itu Raden Bondan Kejawan menjadi anak angkat dari pada Ki Ageng Tarub dan tinggal bersama dirumahnya. Sebab sejak awal melihat Ki Ageng Tarub sudah mengatahui jika Raden Bondan Kejawan adalah anak kandung Prabu Brawijaya V. Ki Ageng Tarub memiliki seorang putri yang bernama Dewi Nawangsih yang merupakan hasil perkawinanya dengan Dewi Nawangwulan. Namun Dewi Nawangsih sejak kecil dirawat sendiri oleh Ki Ageng Tarub sebab telah ditinggal pergi Ibunya ke Kahyangan sebab insiden "dandang sedudo". 


Selama tinggal dirumah Ki Ageng Tarub maka Raden Bondan Kejawan diajari berbagai ilmu lahir bathin oleh Ki Ageng Tarub selalu ayah angkat sekaligus Gurunya. Sehingga diyakini Dyah Lembu Peteng telah mewarisi segala ilmu yang dimiliki oleh Ki Ageng Tarub. Setelah sama sama memasuki usia dewasa maka antara Raden Bondan Kejawan dan Dewi Nawangsih dinikahkan oleh Ki Ageng Tarub. Setelah Ki Ageng Tarub meninggal dunia maka Dyah Lembu Peteng atau Raden Bondan Kejawan meneruskan atau nunggak semi nama ayah mertuanya yaitu bergelar Ki Ageng Tarub II. 


Mengutip Wikipedia dalam pernikahan antara Raden Bondan Kejawan atau Dyah Lembu Peteng dengan Dewi Nawangsih telah melahirkan tiga orang putra-putri yaitu : 

1. Dyah Dukuh / Ki Ageng Wanasaba, tercatat memiliki keturunan yaitu Ki Ageng Pandanaran / Pangeran Made Pandan menikah dengan Nyai Ageng Pandanaran memiliki keturunan Ki Ageng Pakringan menikah dengan Rara Janten memiliki Nyai Ageng Laweh, Nyai Manggar dan Ki Ageng Saba menikah dengan Nyai Ageng Saba memiliki keturunan Ki Juru Martani (Patih Mandaraka) menikah dengan Ratu Mas Banten berputra Pangeran Mandura, Pangeran Juru Kiting dan Pangeran Jagabaya. Sedangkan Nyai Sabinah menikah dengan Ki Ageng Pamanahan memiliki anak Danang Sutawijoyo. 


2. Dyah Depok atau Ki Getas Pandawa memiliki keturunan Ki Ageng Sela (Kyai Abdurrahman) menikah dengan Nyai Bicak (Nyai Ageng Sela) berputra Nyai Ageng Lurung Tengah, Nyai Ageng Saba, Nyai Ageng Bangsri, Nyai Ageng Jati, Nyai Ageng Patanen, Nyai Ageng Pakisdadu dan Ki Ageng Anis (Ki Ageng Laweyan) menikah dengan Nyai Ageng Laweyan berputra Ki Ageng Pamanahan menikah dengan Nyai Sabinah melahirkan putra Danang Sutowijoyo atau Panembahan Senopati. 


3. Rara Kasihan atau Nyai Ageng Ngerang memiliki keturunan yaitu Rara Kinasih (Nyai Bicak / Nyai Ageng Sela) menikah dengan Ki Ageng Sela. Ki Ageng Ngerang II berputra Ki Ageng Ngerang III menikah dengan Dyah Ayu Panengah berputra

Ki Ageng Panjawi


Berdasarkan catatan nasab tersebut diatas maka Panembahan Senopati ing Ngalaga yang merupakan raja pertama Mataram Islam merupakan cucu buyut dari pada Dyah Lembu Peteng atau Raden Bondan Kejawan. Dengan demikian beliau adalah leluhur Dinasti Mataram Islam yang masih lestari hingga saat ini. Dyah Lembu Peteng atau Raden Raden Bondan Kejawan alias Ki Ageng Tarub II adalah leluhur Dinasti Mataram Islam sebagai pancer yang mengawali transisi Dinasti Majapahit ke Dinasti Mataram Islam. 


Dengan berziarah ke Makam Dyah Lembu Peteng sesungguhnya adalah wujud penguatan spiritualitas diri. Dengan berziarah ke Makam Raden Bondan Kejawan hakikatnya adalah tabarrukan (mengharapkan keberkahan), ikroman (memuliakan), ta’dhiman (mengagungkan) dan khidmatan (mengabdi). Semoga dengan dengan berziarah ke Makam Ki Ageng Tarub II kita semua mendapatkan Ridlo dari Allah SWT. 


Semoga Bermanfaat..! 

Lahul Fatihah


Wallahu a’lam bish-shawabi (والله أعلمُ بالـصـواب) 

Dan Allah Mahatahu yang benar atau yang sebenarnya”


----------------------------------------------------------------------------------

Tulisan ini diramu dari wawancara dengan Juru Kunci Makam yaitu KRT Hastono Adipura dan Pak Pariyono dan ditambah dengan referensi bacaan yaitu :

1. Babad Tanah Jawi. (terjemahan). Mulai dari Nabi Adam Sampai Tahun 1647. Narasi. Yogyakarta. 2007.

2. Hadisiswaya, A.M. CV. Filosofi Wahyu Keraton: Rahasia Dibalik Cerita, Simbolis, Dan Lambang Keraton Jawa. Sahabat. Klaten. 2009

3. H.J.de Graaf dan T.H. Pigeaud. Kerajaan Islam Pertama di Jawa. Terj. Pustaka Utama Grafiti. Jakarta. 2001.

4. Moedjianto.  Konsep Kekuasaan Jawa : Penerapannya oleh Raja-raja Mataram. Kanisius. Yogyakarta. 1987.

5. Purwadi . Sejarah Raja-Raja Jawa. Media Ilmu. Yogyakarta. 2097.

6. Peneliti Ismael Maatouk dan Roy Moutran dalam Journal of Sexual Medicine yang diterbitkan pada 25 Oktober 2005

7. Slamet Muljana. Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-Negara Islam di Nusantara (terbitan ulang 1968). LKIS. Yogyakarta. 2005.

8. Srinansy dan Rachadian, Harry. Ensiklopedia Kerajaan-Kerajaan Nusantara. Bandung: Multi Kreasi Satu Delapan. 2001

9. Wawan Susetyo. Brawijaya Moksa Detik-Detik Akhir Perjalanan Hidup Prabu Majapahit. Imania. Depok. 2010

10. Wikipedia


------------------------------------------------------------

* Penulis adalah pehobi wisata ziarah sehari hari tinggal di desa.