Deoxa Indonesian Channels

lisensi

Advertisement MGID

 



Senin, 30 Desember 2019, 1:48:00 AM WIB
Last Updated 2019-12-29T18:57:02Z
Berita wisata dan budaya

Cerita Asal-Usul Blora,Menurut Beberapa Versi

Advertisement
BLORA,MATALENSANEWS.com-Blora merupakan salah satu kabupaten di Jawa Tengah yang letaknya berbatasan dengan Provinsi Jawa Timur. Cerita asal-usul Blora memiliki banyak versi.Hal tersebut tergantung pada siapa dan kapan cerita tersebut diceritakan. Berikut ini merupakan salah satu versi cerita asal-usul Blora berdasarkan cerita beberapa warga asli Blora, Senin (30/2/2019).

Pada jaman dahulu terdapa wilayah yang bernama Kadipaten Bangir yang termasuk dalam Afdeling Residen Rembang dan Residen Jepara-Rembang. Pemerintahan Kadipaten Bangir dipimpin oleh seorang adipati yang dibantu beberapa orang tumenggung atau wedana. Salah satu wedana di wilayah Kadipaten Bangir adalah adik kandung Adipati Bangir.Ia merupakan Wedana Karangjati yang bernama Ngadi. Wedana Ngadi menderita lumpuh. Meskipun demikian, dia dikenal sebagai orang yang memiliki ilmu kesaktian.

Suatu hari terjadilah gejolak di Kadipaten Bangir yaitu  pemberontakan yang dipimpin oleh sisa-sisa laskar prajurit Diponegoro yang bernama Naya Sentika.Naya Sentika merupakan seorang lelaki kekar dengan wajah garang, berambut panjang dan gimbal.Naya Santika merupakan salah satu cucu prajurit pribumi yang setia. Penampilan Naya Sentika yang memiliki rambut gimbal dan terlihat tidak terurus tersebut memunculkan julukan "Naya Gimbal". 

Meskipun penampilan Naya Santika sangat menakutkan, dalam jiwa Naya Gimbal sudah tertanam rasa nasionalisme yang tinggi.Bahkan dia dikenal sebagai sosok yang sangat anti penjajah,sangat membenci para penjajah beserta antek-anteknya. Naya Sentika pun tidak menyukai para Bupati dan Wedana yang cenderung berpihak pada Belanda.Dalam pemberontakan tersebut, Naya Gimbal beserta para prajuritnya menyerang kadipaten dengan  membabi  buta.Hal ini mengakibatkan prajurit kadipaten kewalahan. 

Naya Gimbal menyerang siapa saja dengan garang. Banyak sekali prajurit Kadipaten Bangir yang tewas. Senopati perang Kadipaten Bangir yang bernama Begede Jetis gugur dalam pertempuran tersebut. Pemberontakan Naya Gimbal cukup meresahkan Adipati Bangir dan rakyatnya. Dalam keadaan bingung dan terancam, Adipati Bangir memutuskan bersemedi untuk mendapatkan petunjuk tentang apa yang seharusnya dilakukannya untuk menghentikan pemberontakan Naya Gimbal dan pengikutnya tersebut.

Akhirnya, dalam semedinya Adipati Bangir mendapatkan wangsit 'petunjuk gaib', bahwa orang yang dapat mengalahkan Naya Gimbal adalah adik kandungnya sendiri, yakni Wedana Ngadi. Akhirnya, tanpa pikir panjang, Adipati Bangir memberitahukan wangsit yang diterimanya tersebut kepada adiknya. Wedana Ngadi pun segera maju ke medan perang melaksanakan titah sang adipati yang tak lain adalah kakak kandungnya. Dikarenakan tubuh Wedana Ngadi lumpuh, ia memerintah anak buahnya untuk membawanya menggunakan tandu ke medan laga menghadapi pasukan Naya Gimbal.

Wedana Ngadi tidak gentar sedikitpun menghadapi Naya Gimbal dan pasukannya yang garang. Dengan kesaktian yang dimilikinya ia melawan Naya Gimbal dari tandu. Selain itu, Wedana Ngadi memiliki pusaka ampuh berupa tombak yang dinamai Godong Andong. Dengan pengaruh kewibawaan pusakanya tersebut akhirnya Wedana Ngadi berhasil menghalau dan mengalahkan prajurit Naya Gimbal.

Kemenangan Wedana Ngadi ini disambut suka cita dan sorak sorai rakyat Kadipaten Bangir. Wedana Ngadi diarak menuju ke balairung kadipaten. Dengan bangga Adipati Bangir memeluk adiknya yang lumpuh tersebut. Sambil terus mendekap adik kandungnya, sang adipati membisikkan ucapan selamat dan terima kasih atas perjuangan sang adik. Setelah itu, sang adipati berkata pada semua orang yang ikut mengarak sang wedana.

"Wahai, rakyatku. Hari ini sebuah sejarah besar telah terukir. Adikku, Wedana Ngadi telah berhasil menyelamatkan Kadipaten Bangir dari aksi pemberontakan Naya Gimbal," kata sang adipati tertahan sejenak."Oleh karena itu, aku akan menghadiahinya separuh wilayah Bangir ini," lanjut sang adipati tanpa sadar menitikkan air mata haru."Tubuhnya memang lumpuh, tetapi semangat dan keberaniannya patut kita contoh, wahai rakyatku," kata sang adipati lagi.Uraian Adipati Bangir ini disambut gegap gempita suara rakyat yang berkumpul di balairung kadipaten sambil mengelu-elukan nama Wedana Ngadi.

"Ampun, Gusti. Itu sudah menjadi tanggung jawab hamba sebagai salah satu rakyat Kadipaten Bangir. Sudah sepantasnyalah saya membela tanah air ini demi kemaslahatan bersama," sergah Wedana Ngadi yang masih duduk di tandunya."Ini sudah menjadi keputusanku, Adhi Ngadi. Engkau tidak usah risau. Separuh wilayah Kadipaten Bangir ini aku serahkan kepadamu, Adhi. Jagalah, rawatlah, dan pimpinlah rakyatmu dengan segala kemapuan dan daya linuwih yang kau miliki, Adhi. Aku tahu engkau adalah kesatria pinilih dan pinuji. Aku yakin kau bisa memimpin kadipaten baru nantinya, Adhi," kata Adipati Bangir sambil memeluk Wedana Ngadi lagi. Setelah mengusap  air mata yang tidak disadarinya mengalir, Adipati Bangir kembali mengumumkan pemberian separuh wilayah Kadipaten Bangir ini."Wahai, rakyatku. Kalian adalah saksi dari keputusanku. Kadipaten Bangir ini akan dibagi dua sigar semangka atau sama besar. Separuh wilayah Bangir ini akan dipimpin oleh adikku, Ngadi," kata sang adipati di depan rakyatnya yang bersorak sorai mendengar kembali pengumuman tersebut.

Singkat cerita, Wedana Ngadi diangkat menjadi bupati separuh wilayah Bangir itu. Namun, wilayah yang dihadiahkan tersebut belum bernama. Demi mendapatkan nama untuk kadipaten baru tersebut, Ngadi bersemedi. Dalam semedinya, Ngadi justru mendapat wangsit 'petunjuk gaib' yang berseberangan dengan apa yang diharapkannya. Ia mendapat "titah" gaib untuk menguburkan jenazah senopati yang gugur dalam pertempuran pemberontakan Naya Gimbal, yakni Begede Jetis. Sebelumnya, jenazah senopati tersebut dikebumikan di Desa Jetis. Dalam wangsit yang diterima Ngadi, jenazah Begede Jetis tersebut harus dipindahkan ke sebelah utara Desa Jetis. Tanah di sebelah utara Jetis itu berada di dataran tinggi yang disebut pojok.

Kemudian, Ngadi memerintah anak buahnya mengadakan upacara penggalian makam Senopati Begede Jetis. Para pengikut Ngadi yang setia itu segera melaksanakan titah sang pimpinan dengan cekatan. Upacara penggalian dilaksanakan dengan baik. Segala macam ubarampe dipersiapkan demi kelancaran upacara tersebut. Ngadi memimpin pelaksanaan upacara tersebut secara langsung di atas tandu. Setelah makam digali, jenazah sang senopati diangkat dan dipindahkan ke tempat yang sudah dipersiapkan sesuai wangsit yang diterima Ngadi. Setelah upacara pemindahan jenazah itu selesai, Ngadi memerintah anak buahnya untuk membangun cungkup di wilayah itu. Demi menghargai dan menghormati jasa sang senopati, Ngadi memberikan gelar sunan. Oleh karena makamnya berada di tanah yang tinggi (pojok), akhirnya Begede Jetis mendapatkan sebutan Sunan Pojok. Hingga sekarang banyak peziarah yang mendatangi makam Sunan Pojok ini.

Meskipun sudah diumumkan sebagai pimpinan wilayah separuh Kadipaten Bangir, Ngadi belum dilantik secara resmi. Pada saat pelantikannya sebagai adipati, Ngadi belum juga mendapatkan petunjuk mengenai nama kadipaten yang dipimpinnya. Hari pelantikan telah tiba. Banyak tamu undangan yang hadir untuk memberikan ucapan selamat dan hadiah atas pelantikan Ngadi sebagai adipati wilayah yang belum bernama tersebut. Lalu, Ngadi mendapatkan ide nama kadipaten dari sebuah hadiah yang dibawa oleh Asisten Residen Rembang. Ngadi dihadiahi seekor kuda tunggang atau kuda teji yang masih muda yang dapat dipakai sebagai kendaraan. Dalam bahasa Jawa anak kuda atau kuda yang masih muda disebut dengan belo. Namun, entah mengapa tiba-tiba kuda yang dihadiahkan tersebut jatuh sakit. Tercetus oleh Ngadi untuk memberi nama kadipaten baru yang dipimpinnya itu Blora yang berasal dari kata belo 'anak kuda/kuda yang masih muda' dan lara 'sakit'.

Demikianlah, pada upacara pelantikan tersebut, Ngadi resmi menjadi Adipati Blora. Pemerintahan Adipati Ngadi sangat baik. Meskipun beliau cacat, tetapi memiliki strategi kepemimpinan yang baik. Adipati Ngadi memimpin dengan bijaksana. Ia tidak segan turun langsung ke wilayah-wilayah perkampungan untuk mengetahui langsung keadaan rakyatnya. Ia begitu dicintai rakyatnya. Rakyat merasa senang dan tenteram. Hasil bumi Kadipaten Blora melimpah di bawah kepemimpinan Adipati Ngadi. Singkat cerita, Adipati Ngadi meninggal dalam usia lanjut. Sebelum mangkat, sang adipati berpesan agar dimakamkan di sebelah utara kadipaten yang berbatasan dengan Kadipaten Bangir. Masyarakat Blora menyebut makam Adipati Ngadi dengan sebutan Ngadi Purwa yang berasal dari kata Ngadi, yaitu nama adipati yang dimakamkan dan kata purwa yang berarti 'pemula'. Sebutan tersebut dimaksudkan untuk mengenang Adipati Ngadi sebagai pemula berdirinya Kadipaten Blora, yang sekarang menjadi Kabupaten Blora.


Disadur dari sumber :diampot
Editor :Cipto